Pengalaman Pastor dan Pendeta Asal Indonesia Melayani Gereja di Australia

SiswantoABC Suara.Com
Jum'at, 24 Desember 2021 | 11:08 WIB
Pengalaman Pastor dan Pendeta Asal Indonesia Melayani Gereja di Australia
Ilustrasi gereja. (Shutterstock)

Perbedaan melayani di Indonesia dan Australia

Pastor Aloysius Lamere MSC, akrab dipanggil Pastor Alo, sudah hampir 11 tahun bertugas melayani umat Katolik di Sydney dan Melbourne.

Sudah hampir 30 tahun Pastor Alo yang berasal dari Maluku ini mengabdi menjadi imam, dengan pengalaman bertugas di Karanganyar (Jawa Tengah), Jakarta, Kiribati hingga Fiji.

Sejak bulan Februari lalu, Pastor Alo melayani umat di Paroki St Thomas di Blackburn, Melbourne.

"Karena saya sudah terbiasa melayani dan belajar dari pastor lain di Australia, ketika saya pulang ke Indonesia, cara saya melayani sangat berbeda dengan pastor lain di Indonesia," katanya.

Menurut Pastor Alo, banyak umat gereja di Indonesia memandang imam sebagai tokoh yang pendapatnya harus didengar sepenuhnya.

"Di negara berkembang, pastor itu orang yang harus ditinggikan, harus dipatuhi, sementara di negara seperti Australia, pastor itu dianggap sebagai salah satu anggota masyarakat saja."

"Imam di sini tidak punya posisi yang lebih tinggi dibandingkan yang lain."

Dari pengalamannya, kebanyakan umat Katolik di Australia tidak terlalu menuntut pastor untuk bisa lebih dari mereka, meski membutuhkan pastor.

Tak hanya itu, ada pula perbedaan dengan materi khotbah.

Baca Juga: Polisi Jaga 135 Gereja di Jakarta Barat Saat Ibadah Natal

"Di Indonesia kalau kita berkotbah, umat mengharapkan pastornya memberikan jalan, atau petunjuk mengenai kehidupan."

"Sementara di sini kita hanya memberikan pendapat kita saja."

Gereja dengan jemaat beragam budaya

Pendeta Ignatius Bagoes Seta asal Surabaya, Jawa Timur, sudah menjadi pendeta Gereja Presbiterian di kawasan Heidelberg, Melbourne sejak tahun 2017.

Ia menceritakan keberagaman etnis jemaatnya, ada yang berasal dari Eropa juga Asia, seperti India dan China.

"Kami tidak pernah membagi jemaat menjadi kebaktian sendiri, melainkan semua duduk di satu kebaktian."

"Dengan demikian kami melihat identitas kami sebagai gereja multi-etnis," katanya kepada ABC Indonesia.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

REKOMENDASI

TERKINI