Mengungsi karena Perang, Nestapa Warga Nduga Papua 4 Tahun Merayakan Natal dalam Duka

Reza Gunadha Suara.Com
Kamis, 03 Februari 2022 | 14:27 WIB
Mengungsi karena Perang, Nestapa Warga Nduga Papua 4 Tahun Merayakan Natal dalam Duka
[Suara.com/Ema Rohimah]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Saya tak tahu kapan perang akan selesai. Menurut saya, perang tak akan berhenti sebelum bangsa Papua diberi kebebasan untuk menentukan haknya sendiri. Momentum itu bisa saja terjadi besok, lusa, satu tahun ke depan, atau beberapa tahun lagi. Tetapi ongkos dari perang itu adalah nasib kami, masyarakat Papua; kami mesti terkatung-katung di tanah orang, dan hidup berkalang keterbatasan.

**

Krisis Kesehatan dan Hak Hidup Yang Tak Sepadan

Jalan menuju kampung Sekom penuhi dengan berangkal batu dan lumpur. Meski jalannya lebar, namun tidak mungkin mobil bisa melewatinya. Jika hendak ke sana, orang harus turun di pinggir jalan raya distrik Muliama, perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki sekitar 1 jam. Sepanjang jalan banyak sekali kubangan yang tertutup air sisa hujan kemarin malam.

“Kaka hati-hati e, awas terperosok. Kami tra tau apa yang ada di dalam lubang itu. Barangkali ular. Kalau tra berbisa, paling kasih bengkak saja itu kaka pu kaki. Kalau sial [berbisa], aduh mamae! Rumah sakit jauh sekali!”

Reporter yang mengikuti kami langsung pucat, setelah anak saya melempar mop itu. Mop semacam itu biasa kami lontarkan untuk mengusir lelah. Di antara mop, sebetulnya terselip kenyataan tragis. Sebab, akses kesehatan hampir bak angan-angan. Sebagian dari kami, tidak bisa mengakses puskesmas. Sebab ketika keluar rumah, kami tidak membawa kartu identitas.

Saya masih ingat hari pertama kami harus angkat kaki dari rumah. Bulan Desember, tahun 2018. Sebuah asap berwarna biru turun dari udara dan menyelimuti desa. Tampak seperti kabut. Tak lama, sebuah helikopter datang, terbang semakin rendah. Lalu semuanya menjadi merah. Padang rerumputan menyala. Api menjalar dan membakar hampir seisi desa. Membumihanguskan segala yang dilewatinya: kebun, rumah, dan pohon-pohon meniupkan hawa panas sementara orang-orang memekik ketakutan. Seperti kiamat.

Orang-orang berlarian tak tentu arah. Kami tidak tahu mesti ke mana. Anak-anak bayi menangis di dalam noken mamanya. Kepanikan membuat kami melupakan segalanya: ada yang tanpa sadar meninggalkan orang tua yang sedang sakit, sebagian melupakan suami, anak, atau istri. Harta benda jelas berada di perhitungan terakhir. Di dalam kepala hanya ada satu perkara: pertama-tama mesti selamatkan nyawa.

Pengungsi Nduga yang sudah 9 bulan terlunta-lunta di daerah pegunungan dan hutan, tanpa bantuan pemerintah. [dokumentasi]
Pengungsi Nduga yang sudah 9 bulan terlunta-lunta di daerah pegunungan dan hutan, tanpa bantuan pemerintah. [dokumentasi]

Kami pikir, nasib kami akan jauh dari marabahaya setelah bisa keluar dari Nduga. Tetapi tidak. Di pengungsian, hidup masih saja pelik sebab kami tidak punya akses kesehatan. Saya mencatat, sudah lebih dari 30 orang nayak meninggal karena sakit selama di pengungsian. Aih, yang bikin saya makin sedih, sebagian besar yang menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak.

Baca Juga: Seragam Ditemukan di Semak-semak, Prajurit TNI di Papua yang Kabur Bawa Senpi Masih Dicari

Relawan kesehatan beberapa kali naik menengok kami. Tetapi mereka datang pada saat yang tidak tepat. Mereka baru datang ketika yang sakit sudah mati. Terlambat sudah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI