Saya punya cita-cita, anak-anak hidupnya lebih baik dari orang tua mereka. Dulu, di tahun 90-an, di desa kami pernah ada juga operasi militer, namanya operasi Mapenduma, dipimpin oleh Prabowo Subianto, yang saat itu adalah jendral milik rezim Orde Baru pimpinan Soeharto. Saya dan kawan-kawan saat itu tengah bersekolah di Wamena. Ketika amuk perang kembali memanas, kawan-kawan di sekolah, satu persatu memilih pulang ke rumah mereka. Mereka kembali ke Nduga demi membantu dan menjaga keluarga mereka.
Saya memilih tidak pulang dan menetap di Asrama. Sebab, saya percaya bahwa pendidikan adalah jalan menuju masa depan Papua yang lebih terang. Saya tidak ingin Papua dikenal sebagai daerah yang terbelakang. Toh itu terjadi, sebab pemerintah melakukan pembiaran.
Mimpi itu kini makin kabur, sebab negara memaksa sekolah bubar. Anak-anak kembali terlantar. Anak-anak di sini sudah akrab dengan rasa kecewa. Saya khawatir, tidak adanya akses pendidikan, akan semakin menguatkan keinginan mereka untuk kembali ke Nduga. Mereka akan turut angkat senjata, dan saya khawatir, mereka akan jadi korban pertempuran.
Seorang anak pernah bercerita, bahwa ketika lulus SMP, ia tidak mau melanjutkan sekolah, ia ingin pulang ke Nduga, ikut angkat senjata. Cerita itu membawa kemarahan sekaligus kekecewaan. Saya ngeri membayangkan dendam yang tertanam dalam diri anak-anak ini. Seorang tetua desa bilang, anak-anak lahir sudah memegang pisau. Entah itu nanti akan dihunuskan kepada siapa. Mungkin kepada yang pernah membunuh saudara mereka.
Ongkos dari perang tidak hanya mengorbankan nyawa mereka yang angkat senjata. Tetapi, hajat hidup kami, masyarakat Papua juga turut dipertaruhkan. Jika pemerintah hanya memakai bahasa kekerasan dan pendekatan militer atas upaya menegakkan perdamaian, saya kira selamanya nasib kami tak akan bisa berubah.
Empat tahun limbung di tanah pengasingan adalah sesuatu yang tidak pernah kami bayangkan. Seolah-olah waktu hanya bergerak di luar sana. Di dunia pengungsi, detik seperti tak pernah beranjak.
Editor: Mawa Kresna
Kisah ini ditulis berdasarkan cerita yang dilisankan oleh Raga Kogoya, seorang pengungsi yang tinggal di kampung Sekom, distrik Muliama, Wamena, kepada kontributor kami, Reno Surya, pada 24 Desember 2021. Raga telah memberi Reno izin untuk menuliskan kisah ini dari sudut pandang orang pertama, yaitu dari sudut pandang Raga. Tulisan ini bukan merupakan transkrip verbatim cerita lisan Raga, melainkan penceritaan kembali yang diupayakan sedekat mungkin dengan apa yang dikatakan Raga pada Reno.
Liputan ini didukung oleh fellowship dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Baca Juga: Seragam Ditemukan di Semak-semak, Prajurit TNI di Papua yang Kabur Bawa Senpi Masih Dicari
Artikel ini pertama terbit di Project Multatuli dan direpublikasi di sini menggunakan lisensi Creative Commons.