Saya sebetulnya ingin bicara dengan pemerintah provinsi. Empat tahun kami mengungsi, pemerintah provinsi tidak ada memberi perhatian untuk kesehatan warga. Jika terus begini, mesti menunggu berapa lagi pengungsi yang meninggal tanpa obat, tanpa perawatan, dan berapa lagi mesti ada mama dan anak yang meninggal karena penanganan yang lambat?
Kami seperti anak yatim piatu. Di Nduga kami diusir, sementara di Wamena kami terlantar.
Perempuan di pengungsian berada dalam kondisi paling susah. Sebagian dari kami, harus melahirkan tanpa bantuan dokter ataupun bidan. Ongkos melahirkan bagi perempuan Papua sangat mahal, sebab nyawa adalah taruhannya.
Kami sudah biasa melahirkan sendiri. Kami melahirkan di mana saja; di dalam gua, di tengah perjalanan mencari desa tumpangan, di bawah air terjun, di sungai, atau di dalam hutan. Pengungsi yang tak memiliki identitas, tidak punya akses ke rumah sakit. Jika ada, kami mesti jalan kaki dan membutuhkan waktu beberapa jam untuk sampai di puskesmas terdekat yang terletak di distrik Muliama.
Tetapi, bagi yang tidak punya identitas, biasanya melahirkan di honai ataupun rumah penduduk yang ditumpanginya. Tapi jika tuan rumah marah, mau tidak mau, kami mesti ke sungai untuk mencari air mengalir dan melahirkan di sana. Saya sudah sering lihat dengan mata kepala sendiri; tak jarang mama dan bayinya terenggut nyawanya di saat yang sama.
Di kampung Sekom, kami tinggal menumpang di tanah ulayat suatu suku. Kami berduyun-duyun mengungsi dari Nduga bersama 540 orang lainnya. Kami mesti pintar-pintar jaga hati warga asli agar tidak diusir. Tidak jarang, kami kena amuk sebab dianggap merecoki hajat hidup mereka. Segalanya serba terbatas dan kami tak punya kebebasan.
Kami juga tidak bisa mengambil air yang mengalir di sungai sembarangan. Tidak jarang selepas makan, kami mesti menelan air liur banyak-banyak agar tidak tersedak. Kami tidak bisa juga sembarangan menanam di kebun-kebun di sini. Sebab, itu bukan milik kami. Umbi-umbi sebagian menumpang tanam di tanah mereka, dan sebagian lain kami menggantungkan makan sehari-hari dari ternak dan hewan buruan.
Kami hidup bersama-sama di dalam honai, dan sebagian lain tinggal di rumah-rumah warga asli. Satu honai dihuni sekitar 3-5 keluarga. Artinya, di dalam satu rumah, ada sekitar 8-15 orang. Kami tidur berjajar-jajar di dalam sana.
Tetapi, yang paling celaka, adalah mereka yang tinggal bersama tuan rumah. Mereka mesti baik-baik. Anak-anak tidak boleh menangis. Mama-bapa tidak boleh bikin bising. Sebab, jika tuan rumah tak enak hati, mereka bisa diusir.
Baca Juga: Seragam Ditemukan di Semak-semak, Prajurit TNI di Papua yang Kabur Bawa Senpi Masih Dicari
Itu semua belum termasuk beban utang yang harus kami tanggung. Beberapa bulan lalu, salah seorang warga asli tewas karena tabrak lari. Sebuah mobil menabraknya saat ia sedang mengendarai motor, sialnya mobil itu kabur tak meninggalkan jejak. Si penabrak pun bebas dari ganjaran hukum adat yang mesti mengganti ongkos kematian anggota keluarga dengan uang Rp200 juta, 30 ekor babi, dan satu sepeda motor.