“Sangat sulit berurusan dengan masyarakat karena mereka frustrasi dan tidak mengerti bahwa sistem tidak dilengkapi untuk menangani permintaan semacam ini,” jelas Chandralal.
"Jadi mereka marah dan menyalahkan kami, tetapi tidak ada yang bisa kami lakukan," imbuhnya.
Keinginan banyak orang untuk pergi diperparah baru-baru ini dengan peringatan dari Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe bahwa krisis pangan hanya beberapa bulan lagi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan Sri Lanka berisiko mengalami darurat kemanusiaan besar-besaran, dan telah meluncurkan rencana untuk memberikan bantuan sebesar 47,2 juta dolar AS (Rp 695 miliar) kepada 1,7 juta orang yang paling rentan di negara itu.
Dalam upaya untuk memperbaiki krisis, Sri Lanka sedang dalam pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk paket talangan, setelah menangguhkan pembayaran utang luar negeri sekitar 12 miliar dolar AS (Rp 176 triliun) pada bulan April.
Pemerintah memperkirakan akan membutuhkan setidaknya 5 miliar dolar AS (Rp73 triliun) untuk memenuhi bahan impor penting selama sisa tahun ini.
Lenora bertekad untuk melakukan apa yang dia bisa untuk kehidupan yang lebih baik, untuk dia dan anak-anaknya.
"Saya ingin menghabiskan dua tahun di Kuwait kemudian saya yakin saya bisa mendapatkan dan menabung cukup untuk kembali," katanya.
"Saya ingin mendidik anak perempuan saya. Itu yang terpenting," pungkasnya. [ANTARA]
Baca Juga: Peruri Dipercaya Cetak Paspor bagi Sri Lanka Senilai Rp31 Miliar