Dalam memperbaiki iklim otonomi daerah, pemerintah pusat harus mencoba lebih memahami dan membina prinsip demokrasi lokal yang bertumpu pada tiga keadaan:
Pertama, prinsip desentralisasi harus diterapkan secara konsisten guna mendukung kemandirian daerah.
UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sudah memberi kewenangan yang besar kepada daerah untuk melaksanakan fungsinya. Namun, setelah diganti menjadi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pemerintah daerah menjadi semakin terbatas karena UU tersebut justru membalikkan arah praktik desentralisasi menuju “resentralisasi”. Sifat sentralistik mencerminkan karakter pemerintahan selama masa Orde Baru.
Kedua, demokrasi lokal juga dapat dilihat dari bagaimana pemilihan kepala daerah (pilkada) dilaksanakan.
Pilkada adalah wujud otonomi politik masyarakat daerah dalam menentukan siapa pemimpin yang memerintah di daerah. Jika sebelymnya kepala daerah hanya dipilih oleh sedikit elite di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), maka pilkada membuka ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ini dimulai dengan memilih siapa kepala daerah mereka.
Pilkada juga menjadi bagian dari pendidikan politik kepada masyarakat untuk mengawasi tidak hanya prosesnya, tapi juga praktik pemerintahan yang dihasilkan oleh pilkada tersebut. Dengan cara ini, masyarakat merasa menjadi bagian dari pemerintahan yang mereka bentuk bersama.
Harapannya, pilkada yang lebih sehat dan bebas korupsi juga dapat mewujudkan pemerintahan daerah otonomi baru yang lebih berkualitas setelah pemekaran.
Ketiga, jangan ada kebijakan pemekaran yang berbeda antar daerah yang ada di Indonesia, apalagi kalau pertimbangan pemekaran yang dibuat oleh pemerintah dan DPR hanya karena alasan politik semata.
Kondisi demikian bisa menjadi preseden buruk bagi daerah yang tidak puas dengan kebijakan pemekaran yang dibuat pemerintah pusat. Nantinya, ini dapat menimbulkan gejolak di daerah-daerah lain yang menginginkan pemekaran.
Baca Juga: KontraS Sebut Pengesahan UU DOB Sebagai Pemaksaan Kepentingan Jakarta di Papua
Apakah sudah saatnya mencabut moratorium?