Pada 12 Oktober itu, Athok sudah menandatangi surat persetujuan autopsi anaknya. Kemudian pada tanggal 17 Oktober sebanyak 17 orang polisi dari Polda Jawa Timur kembali mendatanginya masih terkait proses autopsi. Kedatangan polisi bersama camat dan kepala desa.
"Di situ juga begitu. Dia hubungi pendamping dan lain sebagainya juga tidak ada secara langsung, tidak datang ke situ, dia juga khawatir di soal itu," jelas Anam.
Hingga akhirnya Athok bersama keluarganya menggelar rapat mengambil keputusan pada tanggal 17 Oktober. Hasilnya mereka menolak dilakukan autopsi. Penolakan itu dibuat dalam bentuk tulis tangan langsung oleh Athok.
Atas kronologi yang disampaikan Athok tersebut, Anam menilai bahwa autopsi harusnya bisa dilakukan, namun karena tidak adanya pendampingan, membuat keluarga korban khawatir.
"Kita tegaskan kalau seandainya ada pendamping, apakah ketika polisi datang berapa pun jumlah polisinya itu membuat dia khawatir enggak? Enggak. Jadi problemnya ini soal bagaimana membuat pak Athok nyaman," katanya.
"Kondisi keluarga yang sedang trauma, sedang berduka yang sangat mendalam, terus didatangi polisi yang mengagetkan dia. Ya itu yang membuat dia khawatir. Seandainya ada pendamping katanya dia, ya itu kekhawatiran itu enggak akan ada, tapi itu tidak pernah terjadi," imbuh Anam.
Kepada Komnas HAM, orang tua dari almarhumah Natasya dan Nayla membantah bahwa dirinya mengalami intimidasi. Athok mengaku tidak pernah menyebutkan kalimat dirinya dan keluarga mengalami intimidasi.
"Dia juga heran kok ada kata-kata intimidasi? Dia mengatakan dia tidak pernah mengatakan intimidasi, itu yang juga kami tanya."
Baca Juga: Usut Tragedi Kanjuruhan, Komnas HAM Minta RS Syaiful Anwar Malang Kirim Rekam Medis Korban Tewas