Sejarah Panjang Pembahasan RKUHP Indonesia: Lewati 7 Periode Presiden, 15 Menteri Dan 17 Profesor

Bangun Santoso Suara.Com
Rabu, 07 Desember 2022 | 06:37 WIB
Sejarah Panjang Pembahasan RKUHP Indonesia: Lewati 7 Periode Presiden, 15 Menteri Dan 17 Profesor
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly (kiri) menyerahkan dokumen pandangan pemerintah terkait RKUHP kepada Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (6/12/2022). [ANTARA FOTO/Galih Pradipta].

Melewati 7 Periode Presiden

Massa saat menggelar aksi unjuk rasa menolak pengesahan RKUHP di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (5/12/2022). [Suara.com/Alfian Winanto]
Massa saat menggelar aksi unjuk rasa menolak pengesahan RKUHP di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (5/12/2022). [Suara.com/Alfian Winanto]

Menyitat laman Ditjen Peraturan Perundang-Undangan, pembahasan RKUHP sendiri sudah sangat panjang, dimulai sejak tahun 1958 sampai dengan saat ini.

RKUHP sendiri merupakan masterpiece dan legacy dalam proses perubahan dari KUHP peninggalan kolonial menjadi hukum nasional.

RKUHP disusun dengan nilai-nilai keindonesiaan (Indonesian Way) yang merupakan sebuah upaya dekolonialisasi dalam sistem pidana Indonesia.

Selain itu, RKUHP juga mengedepankan demokratisasi di mana setiap pembahasan substansinya telah melalui periode 7 Presiden, 15 Menteri, serta 17 profesor dan ahli hukum pidana yang telah meninggal dunia dalam membahas RUU ini.

RKUHP juga menganut modernisasi sehingga nantinya kejahatan yang ancaman pidananya kurang dari 5 tahun tidak dipenjara, namun hanya dikenakan pidana pengawasan atau kerja sosial untuk pidana di bawah 6 (enam) bulan dalam rangka mengurangi overcapacity hunian Lembaga Pemasyarakatan.

KUHP juga tidak hanya fokus pada pelaku dan perbuatan yang dilakukan tetapi juga menyesuaikan dengan prinsip yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Pemasyarakatan.

Sejarah KUHP Di Indonesia

Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) saat menggelar aksi Kamisan ke-755 dii depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (1/12/2022). [Suara.com/Alfian Winanto]
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) saat menggelar aksi Kamisan ke-755 dii depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (1/12/2022). [Suara.com/Alfian Winanto]

Terdapat sejumlah pertimbangan yang menjadi alasan diperlukannya KUHP baru. KUHP yang ada saat ini dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Selain itu, KUHP yang digunakan sekarang juga dianggap tidak memiliki kepastian hukum.

Baca Juga: Aksi Tolak Pengesahan KUHP di Gedung DPR Dibubarkan Polisi, Korlap Dapat Pesan Minta Tenda Dibongkar

Hal itu dikarenakan sejak kemerdekaan, pemerintah belum menetapkan terjemahan resmi Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI), nama asli KUHP. Akibatnya, terjadi multitafsir karena pemaknaan KUHP yang berbeda-beda.

KUHP merupakan induk peraturan hukum pidana di Indonesia. WvSNI merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) yang diberlakukan di Belanda sejak tahun 1886.

Tetapi, pemerintah Belanda yang menduduki Indonesia saat itu menerapkan penyesuaian dalam memberlakukan WvS. Beberapa pasal dihilangkan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda.

WvSNI diberlakukan di Indonesia sejak 1918. Saat itu, Indonesia yang dijajah Belanda masih bernama Hindia Belanda.

Pasca-kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengganti sebutan WvSNI menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP pada 1946.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI