"Melapor itu punya keuntungan. Satu, beban yang ada tidak menjadi tumpuan di korban dan keluarganya, tapi ada campur tangan pihak lain untuk membantu," kata Nahar.
Dengan melapor pula, korban bisa mendapatkan bantuan untuk pengobatan dampak yang diakibatkan oleh kekerasan yang diterima. Dampak tersebut dapat berupa fisik maupun psikis. Korban dapat dibantu dan didukung oleh pihak-pihak yang kompeten untuk itu.
"Dampak fisiknya diobati mungkin dalam jangka waktu tertentu selesai. Tapi, kalau dampaknya ke psikis lalu kemudian menerima beban itu seumur hidup, tak ada batas waktu. Maka ini juga perlu dukungan dari semua pihak, proses penyadaran bahwa melapor itu lebih penting," ujar dia.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebelumnya juga mengungkapkan sebanyak 4.683 aduan masuk sepanjang 2022. Nyaris 5.000 pengaduan itu bersumber dari pengaduan langsung, pengaduan tidak langsung (surat dan e-mail), daring dan media massa.
Pengaduan paling tinggi adalah klaster Perlindungan Khusus Anak (PKA) sebanyak 2.133 kasus. Kasus tertinggi adalah jenis kasus anak menjadi korban kejahatan seksual dengan jumlah 834 kasus.
Kekerasan Pada Anak, Apa Yang Salah?
Fenomena anak berkonflik dengan hukum belakangan ini kerap menjadi sorotan. Khususnya, kasus penganiayaan terhadap David Ozora (17) yang dilakukan oleh Mario Dandy, Shane Lukas dan AG (15).
Dalam kasus ini, AG menjadi sosok anak yang terseret dalam persoalan hukum. Polisi sudah menahan AG di Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial.
Tak hanya itu, pekan lalu, aksi sekelompok remaja putri di Cilincing, Jakarta Utara, mengeroyok seorang remaja putri juga sempat viral di media sosial. Kasus tersebut sudah ditangani oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polres Metro Jakarta Utara. Para pihak yang terlibat pun kini sudah dimintai keterangan.
Berdasarkan data dari situs resmi Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Jakarta, sejauh ini ada 62 anak yang dilakukan pembinaan.