Suara.com - Hambali, warga negara Indonesia yang dituduh sebagai otak di balik pengeboman di Sari Club dan Paddy's Bar atau yang dikenal sebagai teror bom Bali tahun 2002, akan disidang pekan ini.
Dirinya akan disidang di pangalan laut Amerika Serikat, Guantanamo Bay. Dia akan disidang dengan tuduhan membunuh 202 orang dalam peristiwa bom Bali tersebut.
Namun, pengacara Hambali percaya diri bisa membebaskan kliennya tersebut dengan sejumlah bukti.
Dikutip dari ABC, Senin (24/4/2023), sang pengacara mengklaim Imam Samudra, teroris yang pertama kali ditahan dalam kasus bom Bali 2022, membantah mengenal Hambali.
Imam Samudra dieksekusi mati pada 2008 bersama dua orang lainnya, kakak-beradik Amrozi dan Mukhlas, yang divonis bersalah dalam ledakan bom di Bali yang menewaskan 88 orang warga Australia.
Pengacara Hambali mengatakan, kesaksian Imam Samudra bisa membuktikan kliennya tidak bersalah bila mereka bisa mendapatkan catatan kesaksian lengkapnya.
"Kami tahu dari dokumen yang sudah beredar umum bahwa Iman Samudra mengatakan dia sama sekali tidak mengenal Hambali, dan Hambali tidak ada hubungannya dengan bom Bali," kata pengacara utama Hambali, Jim Hodes.
"Yang kami tidak tahu saat ini adalah seberapa dalam badan penegakan hukum di Amerika Serikat, entah itu FBI atau badan intelijen militer lain, pernah berbicara dengan Imam Samudra, Amrozi, atau Mukhlas ketika mereka sedang menunggu eksekusi atau menunggu disidangkan."
Namun, para penyidik Indonesia tidak pernah meragukan bahwa Hambali bersalah dan mengatakan bukti-bukti yang dimiliki sangat kuat.
Baca Juga: Densus 88 Antiteror Kontak Senjata Terduga Teroris di Hutan Lampung: Ahli Senjata dan Tokoh
Sekarang Hambali, yang nama aslinya Encep Nurjaman, dikenai sejumlah tuduhan terkait dengan bom Bali tahun 2002, dan ledakan bom di Hotel JW Marriott Jakarta pada tahun 2003 yang menewaskan 12 orang.
Hambali dituduh sebagai pimpinan Jemaah Islamiah di Malaysia, kelompok teror yang memiliki hubungan dengan Al-Qaeda, yang melakukan pengeboman di Indonesia.
Dia akan disidangkan bersama dua orang lainnya dari Malaysia.
Selama berbulan-bulan tim pembela Hambali berusaha mendapatkan akses ke dokumen yang dimiliki tim penuntut pemerintah Amerika Serikat terkait kesaksian Iman Samudra.
Mereka juga berusaha mendapatkan dokumen yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia dan juga Polisi Federal Australia (AFP) yang membantu penyelidikan ledakan bom di Bali dan Jakarta.
Namun, sampai saat ini Komisi Militer Amerika Serikat menolak memberikan akses ke berbagai dokumen tersebut, dengan alasan dokumen sudah diserahkan kepada tim pembela atau "masih mendapat kajian keamanan sebelum diserahkan."