Tanggal 9 April 2019, tagar justiceforAudrey viral di twitter bahkan menduduki nomor 1 di Indonesia dan dunia. Akibatnya, perkara ini memicu petisi karena dipaparkan di twitter bahwa Audrey, sebagai korban mengalami luka di kepala dan alat kelaminnya, sehingga kasus pun ditingkatkan ke ranah penyidikan. Polisi sampai meminta hasil visum kepada Audrey.
Akan tetapi, hasil visum yang dipaparkan oleh kepolisian menyatakan sebaliknya. Hasil visum menyatakan kepala korban tidak mengalami pembengkakan, tidak ada benjolan, tidak ada memar di mata, penglihatannya normal, dan terduga pelaku tidak menekan alat kelamin korban. Buktinya adalah tidak ditemukannya bekas luka di alat kelamin korban.
Setelah hasil visum keluar, warganet yang sebelumnya membela Audrey menjadi kecewa. Banyak yang merasa tertipu dan dibohongi oleh Audrey. Kasus ini pun mendapatkan label sebagai kasus Audrey prank bullying.
Terduga tersangka melakukan klarifikasi
Dua belas siswa terduga tersangka akhirnya melakukan klarifikasi bahwa mereka tidak melakukan pengeroyokan. Kejadian yang sebenarnya ialah mereka berkelahi satu lawan satu, dan ada juga yang berusaha melerai.
Tiga tersangka utama penganiayaan terhadap Audrey menyampaikan permohnan maaf kepada Audrey dan mereka menyatakan menyesal melakukan perbuatan tersebut.
Salah satu korban mengaku sakit hati dengan perkataan Audrey yang mengatakan kalau ibunya yang sudah meninggal suka berhutang.
Ketiga pelaku yang terbukti berkelahi dengan Audrey ditetapkan sebagai tersangka kekerasan diancam pasal 76c juncto Pasal 80 ayat 1 UU perlindungan anak tentang kekerasan terhadap anak. Mereka terancam dijatuhi hukuman maksimal 3,5 tahun penjara.
Kehidupan Audrey dan pelaku saat ini
Baca Juga: Babak Baru Kasus Anggota BEM UNY Diduga Lecehkan Maba, Jadi Audrey Jilid 2?
Audrey sudah kembali aktif sekolah dan bahkan menjadi selebgram. Ia menyanyi dan menerima endorse. Akan tetapi, warganet tak pernah lupa bagaimana Audrey memainkan cerita perkelahiannya itu. Banyak warganet yang mencibir Audrey di akunnya sebagai tukang bohong.
Sementara dari pihak yang ditetapkan sebagai tersangka juga tampak dapat menjalani hidup dengan baik. Banyak warganet yang justru lebih memihak pelaku setelah mengetahui alasan perkelahian tersebut. Banyak warganet yang memfollow akunnya dan memberinya semangat untuk melanjutkan hidup.
Dari kasus ini, banyak pihak memberikan komentar, termasuk Psikolog anak dan keluarga, Sani Budiantini yang menyebut baik pelaku maupun korban ini sama-sama merupakan korban.
Respon warganet terhadap kasus ini membuktikan bahwa pola pikir mayoritas masyarakat Indonesia itu belum matang, sehingga mudah tersulut sebelum mengetahui kebenarannya.
Berkaca dari kasus ini, maka tidak hanya korban yang bisa mengalami trauma, tetapi pelaku pun juga bisa mengalami trauma. Bagaimanapun faktor penyebab perkelahian itu tidak tunggal,melainkan ada banyak faktor yang saling terkait.
Maka, sistem lingkungan pun juga harus bisa lebih berhati-hati dalam menanggapi kasus seperti ini. Pemberitaan viral di medsos dan mendapatkan hujatan, teror, perlakuan negatif bisa mempengaruhi kehidupan, baik pelaku maupun korban.