DPR melawan dan menggunakan hak angket di kasus bulog dan sumbangan dari Sultan Brunei Hassanal Bolkiah untuk rakyat Aceh sebesar 2 juta dollar AS.
Di era Gus Dur ini, DPR juga gunakan hak interpelasi yang berujung Gus Dur lengser pada 2001 dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.
Saat Mega jadi Presiden, DPR juga sempat gulirkan hak angket terkait kerugian negara sebesar Rp40 miliar di kasus nonbujeter Bulog. Berlanjut di era Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden, hak angket digulirkan DPR terkait kasus penjualan kapal tangker Pertamina.
Sebelum hak itu bergulir, Pertamina dinyatakan bersalah oleh Komite Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) terkait penjualan dua unit kapal tanker VLCC di 2004. Setahun setelahnya hak angket digulirkan DPR.
Hak angket di era Presiden SBY juga dilakukan DPR pada kasus DPT Pemilu 2009 dan hak angket Century. DPR pada 1 Desember 2009 kemudian membentuk panitia khusus hak angket Bank Century.
Panitia Khusus Hak Angket Bank Century berawal dari para pengusul yang terdiri dari sembilan orang yang kemudian hari lebih disebut sebagai Tim 9.
Tim 9 itu ialah Maruarar Sirait (PDIP), Ahmad Muzani (Gerindra), Andi Rahmat (PKS), Lili Wahid (PKB), Mukhamad Misbakhun (PKS), Akbar Faisal (Hanura), Chandra Tirta Wijaya (PAN), Kurdi Moekri (PPP), dan Bambang Soesetyo (Golkar).
Hak angket Century sendiri pada keputusan DPR pada 3 Maret 2010 menghasilkan keputusan bahwa bailout century menyimpang. Sementara di era pemerintahan Jokowi, hak angket digulirkan DPR di kasus KPK.
Hak angket KPK ini bermula saat komisi antirasuah itu menolak memberikan rekaman BAP terhadap Miryam Haryani di kasus e-KTP. BAP Miryam itu menyeret sejumlah nama anggota dan mantan anggota DPR.
Wakil ketua DPR saat itu Fahri Hamzah pada sidang paripurna menyetujui penggunaan hak angket KPK. Namun, Fraksi Gerindra, Demokrat dan PKB menolak hak angket kepada KPK.