Sukses Bikin MK Ubah Aturan Pilkada, Ini Alasan Hingga Perolehan Suara Partai Gelora Dan Buruh Di Jakarta

Bangun Santoso Suara.Com
Rabu, 21 Agustus 2024 | 14:06 WIB
Sukses Bikin MK Ubah Aturan Pilkada, Ini Alasan Hingga Perolehan Suara Partai Gelora Dan Buruh Di Jakarta
Para relawan dan kader Partai Gelora saat berfoto bersama usai rapat program konsolidasi nasional dalam rangka sosialisasi dan konsolidasi kader di Indoor Stadium Sport Center, Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Banten, Minggu (19/2/2023). (ANTARA/Azmi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Sementara itu, Partai Gelora didirikan sedikit lebih awal dari Partai Buruh, yakni pada 28 Oktober 2019 di Jakarta. Para pendirinya banyak diisi oleh 'jebolan' Partai Keadilan Sejahtera (PKS) seperti Anis Matta dan Fahri Hamzah.

Partai ini sah jadi badan hukum pada 2 Juni 2020 setelah melalui verifikasi di Kementerian Hukum dan HAM.

Sama seperti Partai Buruh, Gelora juga baru mengikuti ajang pemilu di 2024 ini. Mereka mendapat 1.281.991 suara sah secara nasional, dan 62.850 suara sah di Jakarta.

Setali tiga uang dengan Partai Buruh, Partai Gelora juga gagal meloloskan kadernya duduk di kursi legislator nasional maupun daerah.

Alasan Gugat Pasal 4 UU 10 tahun 2016

Baik Gelora dan Partai Buruh merasa ada hak konstitusional yang dirugikan. Mereka mencatumkan, dalam permohonannya sebagai berikut:

"Bahwa akan tetapi dengan berlakunya ketentuan Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 yang berbunyi “Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” telah secara terang dan jelas menegasikan bahkan mereduksi hak konstitusional PARA PEMOHON untuk mengajukan/mendaftarkan pasangan calon kepala daerah berbasis perolehan suara sah dalam Pemilu"

Para pemohon beranggapan, dengan adanya ketentuan tersebut mereka tak bisa mengajukan calon sendiri. Bagi mereka, seharusnya undang-undang tidak membedakan perlakuan bagi partai politik.

"Seharusnya Undang-Undang tidak mengatur perbedaan perlakuan bagi Partai Politik yang memiliki kursi di DPRD dengan Partai Politik yang tidak memiliki kursi di DPRD untuk mengusung/mendaftarkan pasangan calon Kepala Daerah," tulis mereka dalam permohonannya.

Baca Juga: Acuhkan Putusan MK, Baleg DPR Buka Peluang Kaesang Tetap Maju Pilkada

Partai Buruh dan Partai Gelora juga beralasan, mereka mendapatkan suara yang signifikan. Tetapi mereka belum memperoleh kursi DPRD di beberapa tempat.

"Misalnya Pemohon I (Partai Buruh) memperoleh suara yang signifikan tetapi belum memperoleh kursi DPRD di Provinsi Papua Barat Daya, Kabupaten Maluku Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Pemohon II memperoleh suara yang signifikan tetapi belum memperoleh kursi DPRD di Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Tangerang, Kota Bandung, Kabupaten Cirebon," kata mereka.

"Dalam ketentuan a quo di atur batas minimal dukungan mulai dari 6,5% sampai dengan 10%. Jika dibandingkan dengan syarat minimal akumulasi perolehan suara bagi Parpol yang akan mengusung/mendaftarkan, yaitu sebesar 25%, maka sebenarnya jauh lebih banyak/lebih berat," tulis mereka.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI