Di sisi lain, Indeks Inklusivitas Global tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia masih berada di peringkat 125 dengan skor 26,50 dalam pelaksanaan pembangunan inklusif. Posisi ini jauh di bawah negara-negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Singapura, dan Thailand. Meski sedikit lebih baik dari Malaysia dan Myanmar, peringkat tersebut mencerminkan masih rendahnya pelaksanaan pembangunan inklusif di Tanah Air.

Angka-angka ini relevan dengan realitas penyandang disabilitas di Indonesia. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2020, terdapat 17,95 juta penduduk penyandang disabilitas berusia kerja (15 tahun ke atas), atau sekitar 8,8 persen dari total penduduk usia kerja. Namun, hanya 7,68 juta orang atau 5,98 persen dari total penduduk yang bekerja. Ironisnya, angka ini bahkan mengalami penurunan hingga 20,25 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Mereka terdiri atas pekerja laki-laki sebanyak 57,73 persen dan pekerja perempuan sebanyak 42,27 persen. Dilihat dari tempat tinggal, pekerja disabilitas lebih banyak tinggal di pedesaan, yakni sebesar 55,74 persen, sementara pekerja yang tinggal di kota hanya 44,26 persen.
Sementara itu, jika dilihat dari lapangan usaha atau sektor pekerjaannya, kebanyakan pekerja disabilitas berada di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 47,9 persen, Perdagangan besar dan eceran 16,02 persen, industri pengolahan 9,68 persen. Dilihat dari status pekerjaan utamanya didominasi pekerja berusaha sendiri sebesar 28,09 persen dan dibantu buruh tidak tetap sebesar 26,36 persen.
Ajiwan Hendradi yang menjabat sebagai Staf di Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) memahami betul lika-liku perjuangan para penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Dalam kesehariannya, Ajiwan kerap menerima laporan dari rekan-rekan penyandang disabilitas tentang sulitnya mendapatkan pekerjaan di sektor formal.
Meski lowongan kerja khusus disabilitas semakin banyak dibuka, kenyataan yang dihadapi para pencari kerja disabilitas ini tidaklah mudah. Banyak perusahaan masih menetapkan syarat yang dianggap diskriminatif.
“Misalnya, lowongan untuk penyandang disabilitas, tapi syaratnya harus bisa melihat, mendengar, atau hanya menerima disabilitas fisik yang tidak berat. Jadi, sebenarnya mereka hanya menerima penyandang disabilitas yang tidak punya hambatan berarti,” ujar Ajiwan.
Ajiwan mencatat, meskipun perusahaan-perusahaan kini mulai membuka peluang bagi penyandang disabilitas, syarat yang ditetapkan sering kali justru menjadi penghalang. Diskriminasi terselubung seperti ini mencerminkan masih lemahnya pemahaman akan inklusivitas.
Salah satu harapan besar bagi penyandang disabilitas adalah keberadaan Unit Layanan Disabilitas (ULD) Ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan. ULD yang mulai dibangun di berbagai daerah di Indonesia ini dirancang untuk menjadi penghubung antara penyandang disabilitas dan dunia kerja, menyediakan pelatihan, informasi hingga pendampingan yang dibutuhkan.
Namun, Ajiwan menegaskan penting untuk memastikan ULD tidak hanya menjadi simbol formalitas. “Harapannya dengan ULD ini bisa menjadi jembatan bagi teman-teman disabilitas untuk meraih pekerjaan yang layak. Seharusnya bisa dimaksimalkan,” katanya.
Ajiwan juga mengingatkan bahwa menyediakan tempat kerja yang inklusif bukanlah pilihan, melainkan kewajiban. Ia mendorong pemerintah untuk lebih tegas dalam memastikan implementasi UU Nomor 8 Tahun 2016 berjalan sesuai tujuan.

Upaya Mengubah Tantangan Menjadi Keuntungan
Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian PPN/Bappenas, Maliki mengatakan, paradigma melihat disabilitas sebagai individu yang disable atau tidak mampu kini sudah berubah. Mereka bukan tidak mampu, melainkan memiliki kemampuan yang berbeda. Dalam konteks kependudukan, para penyandang disabilitas juga dapat memberikan keuntungan dalam bonus demografi jika diberdayakan dengan tepat.
"Kalau kita memberikan bantuan-bantuan yang bersifat memberdayakan, mereka relatif akan bisa melakukan hal yang positif dan menjadi bonus demografi," kata Maliki saat dihubungi Suara.com, Rabu (25/11/2024).
Pemerintah menerjemahkan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dengan menyusun rencana pembangunan inklusif terhadap disabilitas tahun 2020-2045 yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019. Di dalamnya terdapat Rencana Induk Penyandang Disabilitas (RIPD) yang berisi tujuh sasaran strategis utama untuk mencapai pembangunan inklusif.
Ketujuh rencana strategis tersebut terdiri atas pendataan dan perencanaan yang inklusif bagi penyandang disabilitas, penyediaan lingkungan tanpa hambatan bagi penyandang disabilitas, perlindungan hak, akses politik, dan keadilan bagi penyandang disabilitas, pemberdayaan dan kemandirian penyandang disabilitas, perwujudan ekonomi inklusif bagi penyandang disabilitas, pendidikan dan keterampilan bagi penyandang disabilitas, serta rencana strategis terakhir yakni akses dan pemerataan layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas.
RIPD ini selanjutnya diterjemahkan ke dalam Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas (RAN PD) berupa dokumen perencanaan inklusif penyandang disabilitas jangka menengah atau per lima tahun. Pada RAN PD 2020-2024, Maliki mencatat ada beberapa capaian dari pemenuhan sarana prasarana ramah disabilitas, pembuatan Modul Pelatihan Pembangunan Bencana untuk disabilitas yang disusun oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), perlindungan hukum dari kekerasan perempuan dan anak disabilitas oleh Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak, peningkatan partisipasi disabilitas dalam Pemilu, meluncurkan program Pahlawan Ekonomi Nasional (PENA) dari Kementerian Sosial, peningkatan kualitas tenaga pengajar SLB, dan perluasan aksesibilitas layanan kesehatan dan jaminan kesehatan sesuai kebutuhan ragam disabilitas.