Suara.com - Konsorsium Percepatan dan Penguatan Advokasi dan Implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau ASAP! menyayangkan fakta bahwa belum ada progres bermakna dalam penghapusan kekerasan seksual dan implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sejak 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Konsorsium ASAP! terdiri dari Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis) bersama dengan Perempuan Mahardhika, Forum Pengada Layanan (FPL), dan Institute for Criminal Justice Reform (CJR).
Mereka mengatakan, hingga sekarang, tiga dari tujuh peraturan pelaksana masih belum dikeluarkan--termasuk peraturan mengenai Dana Bantuan Korban (DBK).
Selain itu, konsorsium juga menyayangkan efisiensi anggaran yang dilakukan karena Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, mengingat sektor pendidikan dan kesehatan juga ikut terdampak. Padahal, kedua sektor tersebut adalah sektor yang krusial untuk memenuhi amanat UU TPKS.
Alih-alih memprioritaskan kebutuhan dasar, efisiensi anggaran berdampak kepada sektor krusial, untuk membiayai program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang proses perencanaan dan implementasinya tidak akuntabel maupun dipikirkan secara strategis dan matang.
"Tidak ada gebrakan signifikan dalam 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran untuk mengatasi persoalan kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual. Dalam 100 Hari ini saja kita bisa melihat maraknya kasus-kasus pembunuhan perempuan yang dilatarbelakangi olen ketidaksetaraan relasi kuasa gender dan konstruk yang menempatkan perempuan sebagai objek. 100 Hari Pemerintahan ini tidak hanya lambat membahas tentang kebijakan turunan UU TPKS, namun justru muncul kebijakan yang melanggengkan ketidaksetaraan relasi tersebut. Kita menjauh dari upaya perlindungan perempuan dan kelompok rentan," kata Ketua Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi dalam media briefing "100 Hari Pemerintahan Baru, Negara Masih Tak Berpihak Kepada Korban Kekerasan Seksual" di Jakarta, Kamis (13/2/2025).
Konsorsium turut menuntut adanya keberpihakan yang ditunjukkan negara kepada korban kekerasan seksual, yang sekarang masih nihil.
Padahal data SIMFONI Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sudah menunjukkan peningkatan kasus kekerasan seksual dengan mencapai angka 13.156 pada tahun 2023. Persentase korban yang mendapatkan perlindungan tertinggi hanya sebesar 8 persen pada tahun yang sama.
"Artinya, lebih dari 90 persen korban kekerasan seksual masih belum mendapatkan penanganan penuh dan pemulihan komprehensif sebagaimana tertuang pada Pasal 70 ayat (1) UU TPKS dalam hal pemberian hak restitusi dan/atau kompensasi. Angka ini masih tidak digubris, atau setidaknya memunculkan tanda bahaya dan urgensi di pihak negara," tulis konsorsium.
Baca Juga: 41 Kasus Anak Korban Pornografi Lewat Medsos, KPAI: Karena Orang Tua Gaptek
Sementara itu, Project Manager Institute for Criminal Justice (ICJR) Ajeng Gandini menyesalkan nihilnya keberpihakan negara terhadap korban di tengah kasus kekerasan seksual yang selalu meningkat setiap tahunnya.
Menurut Ajeng kondisi tersebut diperburuk dengan kebijakan efisiensi anggaran di 100 hari pemerintahan baru.
"Karena ironisnya hampir 90 persen korban kekerasan seksual masih belum mendapatkan penanganan penuh dan hak atas pemulihan yang komprehensif dari negara sebagaimana amanat Pasal 70 ayat (1) UU TPKS termasuk kompensasi," kata Ajeng.
Menurut Ajeng, ICJR juga melakukan kajian mengena Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari hasil sanksi semua tindak pidana. Pada tahun 2023, negara mendapatkan dana sebesar Rp9,4 triliun rupiah dari PNBP penegakan hukum, sedangkan kebutuhan estimasi kompensasi yang perlu disediakan negara jika pelaku tidak bisa membayar kepada korban hanyalah Rp 18 miliar.
"Bahkan tidak mencapai 0,1 persen dari total pendapatan PNBP hasil penegakan hukum tersebut. Namun tidak dapat diketahui atau dipastikan apakah korban, termasuk korban kekerasan seksual, mendapatkan kontribusi PNBP penegakan hukum atau tidak. Minimnya transparansi ini adalah catatan kritis dalam sistem penegakan hukum di Indonesia," ujarnya.
Melalui media briefing "100 Hari Pemerintahan Baru, Negara Masih Tak Berpihak Kepada Korban Kekerasan Seksual", konsorsium ASAP! menekankan pentingnya gerakan perempuan dalam advokasi dan kampanye mengenai pemenuhan hak korban kekerasan seksual melalui gerakan perempuan. Konsorsium menekankan sentralnya peran media dan jurnalis dalam menyokong upaya dan proses advokasi.