“Pasal ini berpotensi menjadi alat politisasi militer dan membuka peluang bagi pejabat militer untuk digunakan dalam agenda politik kekuasaan,” katanya.
“Mengingat bahwa Prabowo Subianto memiliki latar belakang militer, langkah ini semakin memperkuat dugaan bahwa revisi UU TNI didorong oleh kepentingan elit tertentu, bukan demi profesionalisme TNI,” imbuhnya.
Jika revisi ini tetap laksanakan, maka Indonesia akan menghadapi ancaman kembalinya dominasi militer dalam politik dan pemerintahan, yang bertentangan dengan cita-cita reformasi.
DPR diharapkan tidak tunduk pada tekanan eksekutif dan lebih mengedepankan prinsip demokrasi serta kepentingan rakyat.
“Imparsial mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi UU TNI. Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR RI seharusnya bersikap responsif terhadap kritik dan penolakan yang berkembang di masyarakat,” tegas Ardi.
Ardi juga mendesak agar DPR dan Pemerintah lebih baik fokus pada mendorong agenda reformasi TNI yang tertunda, seperti membentuk UU Tugas Perbantuan, reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), serta melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI.
“Pemerintah dan DPR RI tidak boleh menuruti ambisi Prabowo Subianto untuk mengambalikan Dwifungsi ABRI,” pungkasnya.