Suara.com - Rencana Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi yang akan memasukan siswa bermasalah ke barak militer dipertanyakan psikolog pendidikan. Kebijakan tersebut dinilai tidak taktis juga tanpa indikator yang jelas.
Psikolog pendidikan Karina Adistiana mempertanyakan alasan Dedi Mulyadi sampai harus melibatkan militer dalam proses pendidikan karakter murid yang harusnya masih menjadi tanggungjawab sekolah dan orang tua.
"Sejak kapan sih sebenarnya militer dan polisi jadi ada wewenang di pendidikan. Kenapa hanya khusus untuk anak bermasalah? Kalau memang dianggap, apa yang bagus, disiplinnya kah? Kalau memang dianggap disiplin ini bagus untuk pendidikan karakter, kenapa khusus anak bermasalah?" beber Karina saat dihubungi Suara.com pada Senin (28/4/2025).
![Kang Dedi Mulyadi [Instagram]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/04/17/56248-kang-dedi-mulyadi.jpg)
Penyebutan 'siswa bermasalah' yang akan dikirim ke barak militer selama enam bulan itu juga dinilai tidak tepat. Karena tidak ada indikator yang pasti dari stigma siswa bermasalah tersebut.
Karina mencontohkan, kalau pun ada perilaku murid yang bermasalah hingga melanggar hukum, Indonesia telah memiliki sistem peradilan anak yang jelas tanpa harus membawanya ke barak militer. Dia melanjutkan bahwa dari sisi psikologis, anak yang dikatakan bermasalah biasanya disebabkan banyak faktor.
"Pemda itu tugasnya kan melihat itu ya, melihat secara keseluruhan. Jadi gak melulu si anaknya yang jadi faktor. Sepertinya kalau di sini jadi kayak anaknya ini yang tunggal nih, anaknya ini yang udah gak bisa diapa-apain gitu," ujarnya.
Karina juga mengkritisi gubernur Jabar yang bahkan sudah menyiapkan sampai 40 barak militer untuk 'menyekolahkan' murid yang dikatakan bermasalah itu.
"Ini kan berarti mereka memikirkan banyak kemungkinannya gitu. Apakah 40 barak ini perkiraannya berdasarkan apa nih 40 barak? Pertimbangannya itu berdasarkan apa? Datanya sebenarnya gimana sih perilaku remaja bermasalah, perilaku anak bermasalah di Jawa Barat, itu datanya bagaimana? Data itu kan yang mestinya diterjemahkan menjadi sistem," kritiknya.
Diketahui, Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi mengaku berniat memasukan siswa bermasalah ke barak militer itu akan dimulai pada 2 Mei 2025.
Baca Juga: Sebut Anggaran Fantastis MBG Irasional, Ekonom Ferry Latuhihin: Kok Maksa Banget, Ini Proyek Siapa?
Dedi Mulyadi mengatakan rencana tersebut bagian dari pendidikan karakter yang akan mulai dijalankan di beberapa wilayah di Jawa Barat yang dianggap rawan dan bekerja sama dengan TNI dan Polri.
Pemprov Jabar bahkan telah menyediakan sekitar 30 hingga 40 barak khusus yang disiapkan oleh TNI. Peserta program, dipilih berdasarkan kesepakatan antara sekolah dan orang tua, dengan prioritas pada siswa yang sulit dibina atau terindikasi terlibat dalam pergaulan bebas maupun tindakan kriminal, untuk diikutkan program pembinaan yang akan berlangsung enam bulan per siswa.
Niatan Dedi Mulyadi yang mengirim siswa bermasalah ke barak TNI menuai pro-kontra. Di tengah polemik itu, Ketua Dewan Pakar Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) Itje Chodidjah justru menyarankan agar Dedi Mulyadi membenahi kualitas guru dan sistem pengajaran ketimbang mengirim siswa nakal ke barak militer.
Dia beranggapan kalau hal itu lebih efektif menjadi solusi atas pendidikan karakter anak.
Menurut Itje, mengirimkan siswa ke barak militer berpotensi tidak mampu mendeteksi penyebab buruknya karakter siswa.
"Sekolah benahi, guru benahi. Itu kan lagi beredar data dari KPK, berapa banyak, berapa persen guru yang sering meninggalkan kelas tanpa alasan, jam kosong. Itu yang diperbaiki. Jangan yang rusak fondasinya yang diperbaiki jendelanya kalau ibaratnya itu rumah," kata Itje kepada Suara.com saat dihubungi Senin.
![Pasukan Khusus TNI AL melakukan perimeter tempur saat Latihan Operasi Dukungan Pasukan Khusus di Pulau Damar, Jakarta, Senin (19/9/2022) dini hari. [ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja /foc].](https://media.suara.com/pictures/653x366/2022/09/19/76608-ilustrasi-pasukan-khusus-tni-al-melumpuhkan-musuh-ilustrasi-prajurit-tni-ilustrasi-tni.jpg)
Itje menekankan, pemerintah seharusnya memperbaiki akar masalahnya yang sebenarnya ada di sekolah. Dia berpandangan kalau sekolah yang bertanggungjawab sebagai lingkungan terdekat yang membentuk karakter siswa, di luar keluarganya.
Sekolah juga menjadi tempat berkumpulnya anak-anak dari berbagai latar belakang keluarga yang kemudian dibangun kualitas spiritualnya, kualitas intelektual, kualitas emosional, hingga kualitas fisiknya.
"Padahal ketika berbicara karakter, kalau sudah SMA itu sudah jadi. Dan penguatan karakter itu ada di SD, mulai dari Paud sampai SMP itu adalah usia perkembangan psikologis anak yang kenceng-kencengnya. Ketika sudah SMA itu sudah menuai hasil dari apa yang dilakukan sebelumnya selama 12 tahun, dari Paud sampai SMP," ujar Itje.
Oleh karena itu, sekolah harus tetap menjadi pondasi dari pembentukan karakter anak. Itje menekankan bahwa membenahi persoalan karakter siswa sebenarnya kompleks. Sehingga tidak bisa menggunakan cara instan dengan mengirimkan anak ke barak militer selama enam bulan tanpa diberikan sekolah formal.
"Kalau kita melihat compang-campingnya sekolah, maka disitulah lakukan perbaikan. Dan dinas pendidikan di Provinsi Jawa Barat itu punya kantor-kantor dinas di setiap kecamatan kalau tidak salah. Itu yang perlu diefektifkan peran dan fungsinya, peran pengawas, peran guru untuk sejatinya guru itu ngapain," tuturnya.