Riwayat Hidup Siddhartha Gautama, Jejak Sang Buddha Menuju Pencerahan

Rifan Aditya Suara.Com
Kamis, 08 Mei 2025 | 20:39 WIB
Riwayat Hidup Siddhartha Gautama, Jejak Sang Buddha Menuju Pencerahan
riwayat hidup Siddhartha Gautama (freepik)

Suara.com - Dalam rangka memperingati kelahiran, pencerahan, dan wafatnya Sang Buddha, umat Buddha di seluruh dunia akan merayakan Hari Waisak yang jatuh pada 12 Mei 2025.

Waisak adalah momen penting bagi umat Buddha untuk merenungkan ajaran Siddhartha Gautama, yang dikenal sebagai Sang Buddha.

Meskipun menjadi tokoh yang sangat dihormati dalam agama Buddha. Namun, tidak banyak yang mengetahui asal-usul dan riwayat perjalanan hidup Siddhartha Gautama.

Lahir di Taman Lumbini sekitar 623 SM, Siddhartha Gautama adalah putra dari Raja Suddhodana dan Ratu Maya Devi, yang berasal dari klan Shakya. Ia kemudian dikenal sebagai pendiri Agama Buddha yang diakui di seluruh dunia.

Nama "Siddhartha" sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "seseorang yang telah mencapai tujuan hidupnya," sementara "Gautama" merujuk pada nama keluarga yang berasal dari leluhur yang terkenal sebagai guru spiritual.

Sebagai seorang pangeran, Siddhartha Gautama justru memilih meninggalkan segala kemewahan dunia demi mencari pencerahan.

Perjalanan spiritualnya membawa perubahan besar dalam pandangan hidup banyak orang, dan ajarannya membentuk dasar ajaran agama Buddha hingga kini. Inilah penjelasan tentang riwayat hidup Siddhartha Gautama secara singkat.

Kehidupan Awal Siddhartha Gautama

Sejak lahir, Siddhartha sudah menunjukkan tanda-tanda istimewa. Menurut ramalan seorang peramal, tubuhnya memancarkan 32 tanda yang menandakan bahwa ia akan menjadi pemimpin besar.

Namun, sang peramal juga memprediksi bahwa kehidupan duniawi tidak akan memberikan kepuasan sejati bagi Siddhartha. Hal ini membuat Raja Suddhodana khawatir bahwa putranya akan meninggalkan istana dan menjadi seorang pertapa.

Baca Juga: 50 Gambar Poster Hari Raya Waisak 2025, Desain Keren Cocok Dibagikan ke Medsos

Ayah Siddhartha berusaha melindunginya dari kenyataan dunia luar yang penuh penderitaan dengan membesarkannya dalam kemewahan istana, menghindarkan putranya dari melihat orang-orang lanjut usia, penderita penyakit, mayat, serta kehidupan pertapa yang penuh pengorbanan.

Namun, ketika Siddhartha menginjak usia 29 tahun, ia memutuskan untuk keluar dari istana dan menjelajahi dunia luar.

Dalam perjalanan tersebut, ia pertama kali melihat seorang pria tua, seorang yang sakit, sebuah mayat, dan seorang pertapa.

Melihat kenyataan tersebut, Siddhartha merasa terkejut dan menyadari bahwa dunia ini penuh dengan penderitaan yang tak terhindarkan, termasuk usia tua, penyakit, dan kematian.

Meninggalkan Kehidupan Duniawi

Setelah melihat rangkaian penderitaan tersebut, Siddhartha tergerak untuk mencari jawaban atas pertanyaan besar dalam hidupnya, yaitu tentang bagaimana cara mengatasi penderitaan yang dialami manusia.

Pada usia 29 tahun, ia meninggalkan istana, istri, dan anaknya yang masih bayi, dan memulai perjalanan spiritual untuk menemukan cara mengatasi penderitaan tersebut.

Siddhartha berguru pada berbagai guru spiritual dan berlatih dengan berbagai metode, mulai dari meditasi hingga melakukan puasa ekstrem.

Ia bahkan berlatih hidup sengsara, menahan rasa lapar dan haus, dengan harapan bisa mencapai pencerahan. Namun, setelah enam tahun, ia menyadari bahwa ekstremisme dalam bentuk penyiksaan diri bukanlah jalan untuk mencapai pencerahan sejati.

Suatu malam, Siddhartha memutuskan untuk bermeditasi dengan tekad untuk tidak bangun hingga ia menemukan jawaban yang ia cari.

Ia duduk di bawah pohon Bodhi di Bodh Gaya, India, dan bertekad untuk menemukan jalan keluar dari penderitaan. Dalam meditasi mendalamnya, ia dihadapkan pada cobaan besar berupa ancaman dari Mara, iblis jahat yang mencoba menggagalkan pencapaiannya.

Namun, Siddhartha berhasil mengalahkan Mara dan mencapai pencerahan sempurna. Pada saat itulah ia menjadi Buddha, "yang terbangun" atau "yang tercerahkan".

Pencerahan ini memberinya pemahaman mendalam tentang sebab akibat penderitaan dan cara mengakhirinya, yang akhirnya menjadi inti ajaran Buddha.

Menyebarkan Ajaran Buddha

Usai meraih pencerahan, Siddhartha memutuskan untuk membagikan ilmu yang ia temukan kepada orang lain.

Khotbah pertama yang disampaikannya dilakukan di Taman Rusa, Isipatan, Sarnath, kepada lima orang pertapa yang sebelumnya merupakan teman-temannya dalam pencarian spiritual.

Dalam khotbah tersebut, Siddhartha mengajarkan Empat Kebenaran Mulia, yang menjelaskan asal usul penderitaan dan jalan keluar untuk mengatasinya.

Ajaran tersebut dikenal sebagai Jalan Tengah, yang terdiri dari Delapan Ruas Jalan Kemuliaan, yang mengarah pada pencerahan dan pembebasan dari penderitaan.

Selama 45 tahun, Siddhartha menyebarkan ajaran ini kepada umat manusia, mengajak mereka untuk mengakhiri penderitaan melalui pemahaman yang benar, pengendalian diri, dan kebijaksanaan.

Wafatnya Siddhartha Gautama

Pada usia 80 tahun, setelah lebih dari empat dekade menyebarkan ajaran dan memberikan bimbingan kepada umatnya, Siddhartha menghadap Maha Parinirvana, yakni meninggalkan tubuh fisiknya.

Sebelum wafat, ia berpesan kepada murid-muridnya untuk tidak sekadar mengikuti ajaran secara buta, tetapi untuk menjadi "terang" bagi diri mereka sendiri.

Wafatnya Sang Buddha menandai berakhirnya perjalanan hidupnya di dunia, namun ajaran-ajaran beliau terus hidup dan menginspirasi umat di seluruh dunia.

Sang Buddha meninggal dengan posisi tidur miring ke kanan, telapak tangan kanan menopang kepala, yang kemudian menjadi inspirasi bagi pembuatan patung Buddha Tidur yang terkenal di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Demikianlah riwayat hidup Siddhartha Gautama secara singkat, yang menggambarkan perjalanan luar biasa dari seorang pangeran menuju pencerahan dan menjadi Sang Buddha.

Kontributor : Dini Sukmaningtyas

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI