Suara.com - “Sebanyak 66 persen jurnalis merasa cemas terhadap masa depan kebebasan pers, khususnya di tengah transisi pemerintah baru. Mereka mengaku lebih berhati-hati memproduksi berita karena ancaman kriminalisasi, sensor, dan tekanan berbagai pihak’.
Sebuah ironi tersendiri, saat pers ditekan dan dihantam saat ini. Tindakan yang sebenarnya merupakan bentuk anomali ketika klaim demokrasi tumbuh makin bersemi. Pada satu sisi, pers sejatinya berperan penting dalam pendewasaan demokrasi: sebagai pilar ke-4 yang bertugas memastikan kebenaran, kesejahteraan, dan solusi persoalan dalam masyarakat.
Kecemasan mayoritas jurnalis di Indonesia merupakan salah satu hasil survei dari Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 yang dilakukan Tifa dan Populix pada 760 jurnalis di Indonesia. Survei tersebut menyatakan, Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 mencapai 60,5 atau masuk dalam kategori “agak Terlindungi,”. Riset ini mengukur tingkat perlindungan jurnalis melalui tiga pilar utama: individu jurnalis, stakeholder media, serta peran negara dan regulasi. Riset ini memaparkan kehidupan jurnalis di Indonesia masih dibayangi sejumlah persoalan seperti, kekerasan jurnalis oleh buzzer politik, kelompok dengan motif pribadi, hingga aparat penegak hukum; penyensoran berita oleh ruang redaksi, organisasi masyarakat atau pemilik media; self senshorsip: dan efisiensi tenaga kerja yang mengurangi hak jurnalis.
Kebebasan pers merupakan pondasi penting bagi peningkatan kualitas demokrasi. Melihat magnitude gejala kekerasan dan kerentanan jurnalis yang meningkat dalam beberapa waktu terakhir, dan semakin lunturnya apresiasi terhadap jurnalis, serta makin kencangnya tuntutan perlindungan bagi jurnalis, menjadi penting dan menarik untuk mengetahui, mengapa kekerasan pada insan pers masih sering terjadi? Apakah yang menjadi pemicu kerentanan profesi ini? Apakah profesi ini sudah tidak dihargai? Ataukah ada faktor lain yang menyebabkan profesi ini terdegradasi?
Serumpun pertanyaan tersebut akan mencoba dilihat dari perspektif budaya dan pendekatan sistem. Perspektif budaya dalam konteks jurnalisme masih jarang ditemukan dalam penelitian dan budaya memainkan peran penting dalam mendukung atau menghambat pekerjaan jurnalistik. Budaya didefinisikan sebagai kompleksitas yang kaya makna, kepercayaan, praktik, simbol, norma, dan nilai yang lazim di Masyarakat.
Sementara itu, pendekatan sistem menurut Gunaratne merangkum beberapa pandangan ahli terkait dengan perspektif ini. Von Bertalanffy mendefinisikan sistem sebagai sekumpulan elemen yang berinteraksi. Sementara Hall dan Fagen menjelaskan suatu sistem harus memiliki objek fisik atau abstrak.
Kekerasan dan kerentanan jurnalis merupakan salah satu elemen yang berinteraksi dengan elemen-elemen lainnya. Elemen lain, dapat diklasifikasikan secara variatif. Namun, dalam tulisan ini, penulis akan membatasi elemen tersebut menjadi dua, yaitu elemen internal dan elemen eksternal. Elemen internal merupakan elemen yang berasal dari lingkungan dalam lembaga media dan bersinggungan langsung dengan jurnalis, sedangkan elemen eksternal berasal dari luar institusi media.
Nilai budaya Indonesia: Kontribusi Pada Individu Jurnalis Sebagai Subjek dan Objek Kekerasan Jurnalis
Hanitzsch menyatakan nilai, sikap, dan kepercayaaan berpengaruh pada ideologi profesional dan perilaku jurnalisme. Massey & Chang menyebutkan bahwa jurnalis di Asia memiliki keunikan tersendiri karena ada nilai-nilai penting yang dijalankan yakni tanggung jawab, komunalisme, konsensus, harmoni, bakti pada orangtua, dan penghormatan pada otoritas.
Nilai-nilai ini akhirnya membentuk produk editorial, sementara tidak ada konsensus soal nilai-nilai ini dalam jurnalisme. Leonhardt, Hanusch, & Singh menyatakan dalam budaya kolektif, jurnalis menekankan hubungan intrinsik dengan komunitas mereka, dan menekankan integrasi sosial pada sistem media yang mencakup sistem kekeluargaan yang erat, pertemanan, dan afiliasi tradisional dan budaya.
Di sisi lain, penelitian Hanitzsch soal “Journalist in Indonesia: Educated but limid watchdogs” menguatkan, jurnalis di Indonesia memiliki nilai budaya Jawa yang tinggi: rasa hormat. Alhasil, nilai ini menghalangi pelaksanaan jurnalisme yang kritis. Dalam riset ini, jurnalis paham profesinya adalah netral dan objektif, bukan aktor politik dan agen pembangunan, secara paradoks, mereka membenarkan korupsi dalam pekerjaan sehari-hari seperti suap. Pramesti menegaskan, budaya sungkan dalam praktik suap masih terjadi di kalangan jurnalis di Indonesia.
![Ilustrasi kebebasan pers [Shutterstock]](https://media.suara.com/pictures/original/2021/10/22/18677-ilustrasi-kebebasan-pers-shutterstock.jpg)
Selain nilai budaya dalam kerja jurnalis di Indonesia, Hanitszch juga melihat faktor pendidikan jurnalisme di Indonesia. Ada yang menarik bahwa pendidikan jurnalisme di Indonesia tidak mempertimbangkan otonom dan reflektif terhadap fungsi dan peran jurnalisme dalam media massa. Peran jurnalis sebagai masyarakat demokratis juga masih jauh.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, terdapat hal-hal yang menarik untuk dicermati yakni: budaya kolektivistis berpengaruh pada kerja jurnalistik yang secara tidak langsung dibawa oleh masing-masing individu jurnalis; pemahaman tugas dan tanggung jawab dari profesi, namun belum pada level reflektif pada fungsi peran jurnalisme itu sendiri; dan pembenaran pelanggaran etika jurnalistik karena faktor budaya yang menyebabkan jurnalis kurang kritis. Ketiga poin di atas terkait satu dengan yang lain, dan berpotensi turut berkontribusi pada kekerasan jurnalis di Indonesia yang belum tuntas.
Budaya di sebuah negara berperan dalam membentuk iklim kerja jurnalistik di suatu negaranya. Jurnalis di negara barat dengan demokrasi mapan, dengan budaya individualistik, cenderung memiliki kebebasan pers yang baik ketimbang jurnalis di negara timur. Hal ini juga dikuatkan pendapat pengaruh budaya ini sebenarnya tidak diinginkan dalam kerja jurnalistik.
Di berbagai negara demokrasi yang tidak stabil, jurnalis mengalami pengaruh budaya nyata ketimbang negara-negara demokrasi barat yang sudah mapan. Budaya menciptakan ketegangan dalam jurnalistik, karena jurnalis harus menyeleraskan ekspektasi komunitas dengan norma profesional. Hasil penelitian Leonhardt, Hanusch, & Singh akhirnya mampu membuktikkan bahwa nilai budaya seperti nilai keamanan dan tradisi turut berkontribusi dalam kerja jurnalistik dibandingkan nilai pengawasan.
Merujuk pada penelitian sebelumnya, penulis mencoba ingin melihat bagaimana budaya di Indonesia menjadi faktor kontekstual yang perlu dipertimbangkan dalam persoalan kekerasan jurnalis di Indonesia. Perlu dipahami bersama bahwa nilai budaya harmoni, penghormatan pada otoritas, bakti pada orang yang lebih tua, sungkan menjadi nilai-nilai yang diajarkan pada masing-masing individu termasuk jurnalis sejak ia masih kecil. Nilai-nilai ini menginternalisasi kehidupan jurnalis sedari dini yang secara tidak langsung berpengaruh pada kerjanya.
Bisa kita lihat contoh dalam maraknya suap di kalangan jurnalis yang sudah terjadi sejak Orde Lama. Pramesti menyatakan bahwa budaya timur seperti budaya terimakasih, sungkan, menghormati pada narasumber membuat budaya suap terbentuk. Budaya ini akhirnya menjadikan jurnalis adalah profesi yang mudah disuap atau dipengaruhi. Contoh lain ketika Pemilu 2014 dan 2019 di Indonesia, media yang berafiliasi dengan partai politik, memanfaatkan medianya untuk kepentingan partai politiknya. Bila dikaji dari pendekatan budaya, patuh pada otoritas yang lebih tinggi akhirnya mempengaruhi kerja redaksional untuk menciptakan harmoni di ruang redaksi.
Beberapa kasus menarik yang terjadi akhir-akhir ini ketika Tempo mendapat bangkai tikus dan kepala babi atas pemberitaannya. Bahkan tak hanya itu, sejarah mencatat bahwa pembunuhan jurnalis di Indonesia juga masih terjadi dan belum tuntas. Pada kasus ini budaya feodalistik tampaknya masih berlaku di Indonesia. Budaya feodalistik berhubungan dengan kekuasaan elite tertentu yang kurang mau menerima kritik. Hal ini juga ditegaskan Schawartz menyatakan bahwa mayoritas jurnalis memilih rasa aman dan patuh pada norma sosial yang memberi kepastian dan stabilitas. Hal ini menguatkan asumsi bahwa tidak banyak media mainstream di Indonesia yang menyuarakan isu sensitif di masyarakat karena mempertahankan nilai aman dibandingkan nilai pengawasan. Alhasil, bermunculan media alternatif yang didanai publik/komunitas tertentu yang fokus menyuarakan isu publik dan marginal.

Beberapa contoh peristiwa di atas membuktikan bahwa profesi jurnalis di Indonesia belum dipandang sebagai profesi penting, dan cenderung memiliki posisi yang lemah. Persepsi yang muncul dari masyarakat soal profesi jurnalis adalah profesi yang mudah disuap, takluk pada penguasa media, dan cenderung mencari rasa aman. Masyarakat masih menilai bahwa jurnalis adalah profesi yang sama dengan profesi lain, dan bukanlah profesi penting untuk kemajuan demokrasi di Indonesia.
Nilai-nilai budaya di atas secara tidak langsung dijalankan oleh masyarakat dan individu jurnalis. Sayangnya, tidak ada konsensus soal nilai-nilai tersebut dalam kerja jurnalistik. Nilai budaya ini pun terlegitimasi dan turun temurun dipraktikkan antar generasi.
Hak dasar tak terpenuhi
Kekerasan pada jurnalis juga perlu dilihat lingkungan internal jurnalis sendiri. Di satu sisi, nilai-nilai budaya masih diberlakukan, di sisi lain jurnalis juga mengalami kekerasan struktural. Kekerasan struktural merujuk pada kekerasan sistem yang membuat individu jurnalis tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Kekerasan struktural yang paling terlihat adalah kesejahteraan jurnalis yang belum memadai. Kesejahteraan adalah kebutuhan dasar, dan bilamana tidak terpenuhi individu jurnalis akan dengan mudah melakukan suap. Akhirnya, nilai-nilai budaya seperti sungkan, rasa terima kasih, serta rasa aman terus diinternalisasikan dalam praktik jurnalistik.
Sementara itu, tugas dasar jurnalis untuk menyelamatkan demokrasi, tampaknya belum maksimal dijalankan. Media mainstream cenderung mengikuti pasar sehingga lebih suka memproduksi berita ringan. Hal ini menunjukkan bahwa media mainstream tidak memiliki “pembeda” dengan content creator, yang akhirnya berdampak pada penurunan kepercayaan masyarakat pada media mainstream. Dengan demikian, media atau profesi jurnalis sendiri kurang mendapat perhatian lebih dari masyarakat.
Ekosistem politik : Tantangan kompleksitas persoalan
Hallin dan Mancini mengembangkan kerangka konseptual untuk menganalisis hubungan antara media dan politik. Pada awalnya objek pengamatan adalah media-media di wilayah Eropa, namun kemudian dilebarkan hingga menjangkau Rusia, Polandia dan China pada buku kedua yang berjudul Comparing Media Systems Beyond the Western World yang diterbitkan tahun 2011.
Pada dasarnya, kerangka kerja yang disusun dipergunakan untuk melihat persamaan dan perbedaan sistem media. Persoalannya, bagaimana kerangka tersebut dipergunakan untuk memotret relasi media dan politik di Indonesia?
Dari tiga model yang dirumuskan Hallin dan Mancini, model terpolarisasi merupakan model yang paling dekat menggambarkan realitas di Indonesia. Di Indonesia media cenderung dikaitkan dengan partai politik dan mengadopsi posisi politik yang jelas dan pasti di samping persaingan ketat antara media swasta dan polarisasi politik yang nyata dalam konten media.
Sementara, data Indeks Keselamatan Jurnalis (IKJ) tahun 2024 menyebutkan bahwa state apparatus yang terdiri atas aparat penegak hukum baik itu polisi maupun militer, pemerintah dan partai politik dipandang sebagai entitas pelaku kekerasan. Fakta tersebut mengindikasikan gejala paralelisme politik yang tinggi saat dan titik awal pembatasan akses masuk keberagaman sudut pandang yang berbeda. Campur tangan politik bukan hanya mengkerdilkan perkembangan jurnalisme, pada jangka panjang praktik berbentuk ancaman, penahanan, kekerasan fisik hingga pelarangan pemberitaan dapat menghilangkan fungsi penting media sebagai pilar keempat demokrasi.
Catatan penutup
Kebebasan pers menjadi sebuah keniscayaan jika tidak ada upaya untuk melakukan refleksi. Kombinasi elemen internal dan eksternal menciptakan senjata mematikan bagi masa depan jurnalis dan jurnalisme. Tidak ada pilihan lain, kecuali menyikapi budaya secara proporsional dan menghilangkan campur tangan politik dalam proses jurnalistik