Suara.com - Bencana alam dan cuaca ekstrem kini telah menjadi bagian dari keseharian banyak orang. Dampaknya tak hanya terasa di angka kerugian ekonomi, tapi juga dalam luka yang ditinggalkan pada manusia dan komunitas.
Dalam laporan terbarunya, Climate Risks: Strategies for Building Resilience in a More Volatile World, Zurich Insurance Group (Zurich) memotret situasi ini dengan tajam. Selama satu dekade terakhir, kerugian ekonomi akibat badai, banjir, dan kebakaran hutan mencapai USD 2 triliun. Lebih dari 1,6 miliar orang terdampak langsung. Dan tren ini belum menunjukkan tanda-tanda mereda.
Data terbaru menyebut, dalam dua tahun terakhir saja (2022–2023), kerugian global akibat cuaca ekstrem melonjak hingga USD 451 miliar. Angka ini naik 19 persen dibandingkan rata-rata tahunan delapan tahun sebelumnya. Kerusakan bukan hanya terjadi pada bangunan atau infrastruktur, tetapi juga merembet ke sektor usaha, pertanian, bahkan kesehatan masyarakat.
![Ilustrasi banjir rob [antara]](https://media.suara.com/pictures/original/2025/03/15/62579-ilustrasi-banjir-rob-antara.jpg)
Faktor-faktor penyebabnya kompleks. Dari urbanisasi cepat, pertumbuhan populasi di wilayah rawan bencana, hingga perubahan iklim jangka panjang yang mengubah suhu rata-rata global, permukaan laut, dan pola hujan. Semua itu berkontribusi pada ketidakpastian dan kerentanan yang makin tinggi.
“Ketahanan tidak dibangun setelah bencana datang. Ia harus dipersiapkan sejak awal,” ujar Kabilarang Sinabang, Chief Risk Officer Zurich Indonesia.
Menurutnya, industri asuransi bisa menjadi aktor penting, bukan hanya dalam memberi perlindungan, tetapi juga mendidik publik dan mendorong pencegahan.
Namun kenyataannya, perlindungan asuransi saat ini belum menjangkau semua pihak. Banyak rumah tangga, pelaku usaha, dan bahkan pemerintah daerah masih belum cukup terlindungi.
Inilah yang kemudian melahirkan “daerah tanpa asuransi”—wilayah rawan bencana yang minim perlindungan finansial.
Menurut, Kabilarang Sinabang, asuransi memiliki peran penting dalam melindungi rumah tangga, pelaku usaha, dan pemerintah dari kerugian finansial akibat bencana. Akan tetapi, cakupan perlindungan asuransi belum mampu mengimbangi besarnya potensi kerugian, mengakibatkan semakin banyak pihak yang kurang atau tidak terlindungi.
Baca Juga: Indonesia Krisis Iklim: Forum Internasional Soroti Pentingnya Pemimpin Daerah Berani Ambil Tindakan
"Kami mendorong pendekatan baru yang menitikberatkan pada pengurangan risiko dan perluasan jangkauan perlindungan asuransi.
Tiga Langkah Menuju Ketahanan Iklim
Zurich menyerukan kolaborasi lintas sektor. Tidak cukup hanya mengandalkan perusahaan asuransi. Diperlukan peran aktif pemerintah dan pelaku industri lainnya untuk mencegah risiko sebelum kerusakan terjadi.
Ada tiga rekomendasi utama dalam laporan ini:
Investasi dalam Pencegahan dan Pengurangan Risiko
Pemerintah diminta menyusun strategi ketahanan iklim yang kuat. Termasuk memperketat regulasi tata ruang, menerapkan standar bangunan tahan bencana, dan membentuk pusat kompetensi nasional. Pemanfaatan teknologi dan data sains sangat dibutuhkan dalam proses ini.
Perluas Akses Asuransi dengan Kebijakan Inklusif
Perlindungan asuransi harus bisa diakses lebih luas. Untuk itu, dibutuhkan regulasi yang membuka pasar, menarik pemain baru, serta mendorong inovasi produk. Insentif juga bisa diberikan kepada rumah tangga dan usaha kecil agar mampu membeli perlindungan asuransi.
Kembangkan Skema Berbagi Risiko Publik-Swasta
Konsep seperti blended finance atau reinsurance pool dapat digunakan untuk berbagi risiko dan sumber daya. Dengan skema ini, cakupan asuransi dapat diperluas tanpa membebani satu pihak saja. Terutama di wilayah berisiko tinggi.
CEO Europe, Middle East & Africa (EMEA) and Bank Distribution Zurich, Alison Martin mengatakan, industri asuransi memiliki peran penting dalam memperkuat ketahanan terhadap risiko iklim secara fisik. Namun, untuk mengatasi meningkatnya biaya akibat cuaca ekstrem dan bencana alam, diperlukan tindakan kolektif dan segera.
"Laporan ini menjadi panduan untuk pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat berkolaborasi dalam menghadapi tantangan yang semakin besar yang ditimbulkan oleh cuaca ekstrem dan bencana alam," kata dia.