Suara.com - Komnas HAM bakal melakukan pemantauan di lokasi tambang nikel, wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Komisioner bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Saurlin P Siagian, mengatakan pihaknya bakal bertolak ke Raja Ampat pekan depan.
“Minggu depan. Hari Selasa,” kata Saurlin, di Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (13/6/2025).
Saurlin mengatakan dirinya bersama tim bakal melakukan pemantauan di lokasi tambang nikel tersebut selama sekitar satu minggu.
Di sana, Saurlin mengaku bakal menjumpai sejumlah pihak. Terutama, masyarakat yang saat ini memiliki konflik horizontal antara mereka yang pro dan kontra.
“Kita akan jumpa para pihak, utamanya masyarakat yang saat ini ada konflik horizontal,” katanya.
Pasalnya, kekinian konflik horizontal antar masyarakat cukup mengkhawatirkan. Hal itu yang akan segera ditelusuri.
“Jadi itu cukup mengkhawatirkan konfilk horizontalnya, saya kira videonya sudah beredar luas, ada konflik horizontal antara yang kontra dan pro. Itu perlu segera kita telusuri,” ucapnya.
Selain bertemu dengan masyarakat, Komnas HAM juga ingin mengetahui perkembangan yang terjadi di lokasi pertambangan tersebut meski telah ditutup oleh pemerintah.
Baca Juga: Bareskrim Gandeng KLH-Kemen ESDM Usut Izin Nikel Raja Ampat, Kapolri Ungkap Alasannya!
“Kita juga ingin melihat seperti apa perkembangan yang sudah ditutup. Kerusakan apa yang terjadi dan seperti apa pemulihan yang harus dilakukan,” ujarnya.
Diketahui, lokasi pertambangan nikel terdapat di 5 pulau yang ada di Kepulauan Raja Ampat, di antaranya Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran, Pulau Batang Pele, dan Pulau Waigeo.
Saat melakukan peninjauan nanti, Saurlin mengatakan pihaknya tidak akan meninjau secara keseluruhan lima pulau tersebut. “Beberapa (pulau saja),” katanya.
Saurlin menegaskan, fokus pihaknya mendatangi kepulauan Raja Ampat yakni untuk bertemu masyarakat.
Komnas HAM kata dia, mendapatkan informasi soal adanya intimidasi kepada masyarakat akibat konflik antar warga buntut penambangan tersebut.
![Ilustrasi ekplositasi alam untuk penambangan nikel di Raja Ampat. [Tangkapan layar akun IG Greenpeaceid]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/06/11/27938-ilustrasi-ekplositasi-alam-untuk-penambangan-nikel-di-raja-ampat-tangkapan-layar-akun-ig-greenpeaceid.jpg)
“Iya, betul dan bertemu dengan masyarakat yang ada intimidasi, kan. Ada intimidasi, sudah ada juga laporan ke kita ini konflik horizontal, indikasinya begitu,” tandasnya.
Diketahui bersama, aksi penambangan nikel di wilayah Raja Ampat sendiri mulai mencuat saat sejumlah aktivis menerobos masuk agenda Indonesia Minerals Conference & Expo di sebuah hotel di Grogol Petamburan, Jakarta Barat, Selasa (3/6/2025) lalu.
Mereka masuk sembail membawa poster dan meneriakan Save Raja Ampat. Sejak saat itu, aksi penambangan di ‘Surga Dunia’ ini mulai menjadi sorotan.
Keninian, izin usaha pertambangan (IUP) nikel di sana juga menjadi sorotan.
Merespons hal tersebut, Presiden RI Prabowo Subianto memutuskan untuk mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) perusahaan di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat.
Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa empat perusahaan itu yakni PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) dan PT Nurham.
"Secara lingkungan atas yang disampaikan Menteri LHK kepada kami, melanggar dan kita mengecek di lapangan, kawasan ini menurut kami harus kita lindungi dengan tetap melindungi biota laut," ucap Bahlil di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa.
Bahlil mengatakan bahwa izin usaha pertambangan diberikan kepada empat perusahaan itu sebelum Raja Ampat ditetapkan sebagai kawasan geopark.
Belum Selesaikan Persoalan
Pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat perusahaan tambang di pulau-pulau kecil di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya oleh pemerintah dinilai belum menyentuh akar persoalan.
Diketahui, masih ada satu perusahaan lain yakni PT GAG Nickel, yang tetap diberi izin beroperasi meski berada di pulau kecil yang secara hukum seharusnya dilindungi.
Empat perusahaan yang izinnya dicabut adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining. Keempatnya disebut tidak memiliki Amdal dan melanggar kaidah lingkungan hidup.
Sementara PT GAG tetap diizinkan menambang karena memiliki dokumen Amdal dan dinilai memenuhi aturan teknis lingkungan.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menyampaikan, PT GAG sebenarnya tetap melanggar aturan meskipun perusahaan itu memiliki amdal.
"PT GAG sesungguhnya melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil," kata Fahmy kepada Suara.com, Kamis (12/6/2025).