Suara.com - Di tengah panasnya peperangan antara Iran dengan Israel, mendadak muncul sosok Reza Pahlevi yang menyerukan perlawanan terhadap rezmi Ali Khamenei di Teheran.
Diketahui, Reza Pahlevi adalah mantan putra mahkota dari Shah Iran yang digulingkan dalam revolusi Islam pada tahun 1979 di negara itu.
Reza Pahlevi menyatakan, orang-orang biasa di Iran yang menentang rezim pemerintah di negara itu telah 'dibangkitkan kembali' oleh serangan Israel. Di mana serangan itu disebutnya telah menewaskan sejumlah petinggi militer di negara itu.
"Republik Islam telah mencapai akhir dan sedang dalam proses keruntuhan. Khamenei, seperti tikus yang ketakutan, telah bersembunyi di bawah tanah dan telah kehilangan kendali atas situasi. Apa yang telah dimulai tidak dapat diubah lagi. Masa depan cerah, dan bersama-sama, kita akan melewati perubahan tajam dalam sejarah ini," ujar Reza Pahlevi dalam unggahannya di X (dulu Twitter).
Ia juga menyebut bahwa semua warga negara yang tak berdaya yang telah dirugikan dan menjadi korban hasutan dan delusi Khamenei. Selama bertahun-tahun, ia menyatakan telah berusaha mencegah api peperangan di Iran.
"Aparat represif rezim itu mulai runtuh. Yang dibutuhkan sekarang adalah pemberontakan nasional untuk mengakhiri mimpi buruk ini untuk selamanya," kata Pahlevi.
"Sekaranglah saatnya untuk bangkit; saatnya untuk merebut kembali Iran. Mari kita semua maju—dari Bandar Abbas ke Bandar Anzali, dari Shiraz ke Isfahan, dari Tabriz ke Zahedan, dari Mashhad ke Ahvaz, dari Shahr-e Kord ke Kermanshah—dan mengakhiri rezim ini," tambah dia.
Sosok Reza Pahlevi
Reza Pahlevi lahir di Teheran, Iran pada 31 Oktober 1960. Saat itu ia bergelar Putra Mahkota Iran atau Crown Prince of Iran. Ia meninggalkan negaranya pada 1978 dan menempuh pendidikan di Amerika Serikat atau setahun sebelum pecah revolusi Islam Iran.
Baca Juga: CEK FAKTA: MUI Dukung Israel Serang Iran, Sebut Syiah Kafir Halal Dimusnahkan, Benarkah?
Sejak saat itu ia tak pernah kembali ke negaranya hingga saat ini.
Sebagai seorang pangeran muda, Reza Pahlavi dipersiapkan untuk menggantikan ayahnya. Ia mengenyam pendidikan di Iran sebelum dikirim ke Amerika Serikat untuk pelatihan sebagai pilot jet tempur. Namun, takdir berkata lain. Revolusi 1979 tidak hanya mengakhiri 2.500 tahun monarki Persia, tetapi juga mengubah total jalan hidupnya.
Setelah ayahnya wafat di Mesir pada tahun 1980, Reza Pahlavi, pada usia 20 tahun, mendeklarasikan dirinya sebagai "Shah Iran" di pengasingan, sebuah gelar simbolis yang menegaskan posisinya sebagai kepala Dinasti Pahlavi.
Visi Politik: Iran yang Sekuler, Demokratis, dan Referendum
Berbeda dari citra seorang monarkis absolut, Reza Pahlavi secara konsisten mengadvokasikan sistem pemerintahan yang demokratis dan sekuler untuk Iran di masa depan. Visi utamanya adalah:
1. Transisi Damai: Ia menyerukan pembangkangan sipil tanpa kekerasan dan persatuan nasional untuk melumpuhkan rezim dari dalam.
2. Pemisahan Agama dan Negara: Salah satu pilar utama platformnya adalah menciptakan Iran yang sekuler, di mana agama tidak mendikte hukum dan kebijakan negara.
3. Hak Asasi Manusia: Menjunjung tinggi hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, dan kesetaraan gender, yang sejalan dengan semangat gerakan protes "Perempuan, Kehidupan, Kebebasan" (Woman, Life, Freedom).
4. Referendum: Poin terpenting dalam visi politiknya adalah referendum bebas dan adil. Ia berulang kali menyatakan bahwa rakyat Iran harus diberi hak untuk memilih bentuk pemerintahan mereka sendiri, apakah itu monarki konstitusional (seperti di Inggris atau Spanyol) atau republik.
Sikap tersebut membuatnya lebih pragmatis di mata sebagian kalangan, karena ia tidak memaksakan pemulihan monarki, melainkan menyerahkan keputusan akhir kepada rakyat.
Peran dalam Gelombang Protes
Sejak meletusnya protes besar-besaran yang dipicu oleh kematian Mahsa Amini pada September 2022, peran Reza Pahlavi menjadi semakin signifikan. Ia bertindak sebagai salah satu duta internasional utama bagi gerakan tersebut.
Ia aktif bertemu dengan para pemimpin dunia dan anggota parlemen di Eropa dan Amerika Utara, mendesak mereka untuk meningkatkan tekanan terhadap Republik Islam dan mendukung para pengunjuk rasa.
Pahlevi juga aktif menggunakan platform media sosialnya yang memiliki jutaan pengikut dan wawancara dengan media internasional, ia menyuarakan tuntutan para demonstran di Iran kepada audiens global.
Pahlavi berusaha menyatukan faksi-faksi oposisi Iran yang terpecah-belah di diaspora. Ia menjadi salah satu penggagas "Piagam Solidaritas dan Aliansi untuk Kebebasan," sebuah dokumen yang ditandatangani oleh berbagai tokoh oposisi untuk menyatukan langkah menuju Iran yang demokratis.
Tantangan dan Kritik
Meskipun populer di kalangan sebagian warga Iran yang merindukan era sekuler sebelum 1979, Reza Pahlavi juga menghadapi tantangan dan kritik.
Namanya tidak bisa dilepaskan dari pemerintahan ayahnya, yang meskipun membawa modernisasi, juga dikritik karena praktik otoriter dan keberadaan polisi rahasia SAVAK.
Selain itu, banyak kelompok oposisi, terutama yang berhaluan republik, menolak gagasan monarki dalam bentuk apa pun dan curiga bahwa ia bertujuan mengembalikan kekuasaan dinastinya.
Para kritikus juga mempertanyakan seberapa besar pengaruh riilnya di dalam Iran, mengingat ia telah hidup di pengasingan selama lebih dari empat dekade.