Untuk itu, dari Presiden Turki Recep Erdogan sampai pakar internasional seperti Behnam Ben Taleblu dari Foundation for Defense of Democracies, menilai proyek rezim Netanyahu itu sudah lebih dari sekadar melucuti program nuklir Iran.
"Sejak awal, berdasarkan sasaran dan pesan publik yang disampaikan Israel, sudah jelas operasi ini lebih dari sekadar operasi anti-proliferasi (senjata nuklir)," kata Ben Taleblu dalam laman berita Vox, belum lama ini.
Netanyahu sendiri terang-terangan menginginkan "pergantian rezim" di Iran, yang sama seperti ketika AS menjungkalkan Saddam Hussein di Irak pada 2003.
Dalihnya pun sama, yakni mencegah penyebaran senjata nuklir, yang dalam kasus Saddam Hussein ternyata bohong besar.
Kini, dalih sama akan digunakan kepada Iran, dengan taktik sama seperti dilakukan presiden AS saat itu, George Bush.
Padahal, rujukan-rujukan untuk dalih menginvasi Iran tetap sama lemah dengan dalih yang dipakai untuk mendongkel Saddam Hussein pada 2003.
Bahkan Direktur Intelijen Nasional AS Tulsi Gabbard menyatakan Iran masih perlu bertahun-tahun lagi untuk bisa memproduksi senjata nuklir.
Tetap saja, Trump mengesampingkan asesmen anggota kabinetnya itu, dengan bersikukuh menyatakan Iran di ambang memproduksi senjata nuklir.
Israel apalagi. Netanyahu memakai kesimpulan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) sebagai dalih menyerang Iran pada 12 Juni 2025, yang kemudian memicu balasan dari Iran, sampai kini.
Baca Juga: Upacara Penghormatan di Piskaryovskoye Memorial, Ini Sederet Kegiatan Prabowo di Rusia