Suara.com - Batas waktu dunia untuk mencegah krisis iklim semakin menipis. Dengan sisa anggaran karbon global yang diperkirakan hanya 130 miliar ton karbon dioksida (CO2) pada awal 2025, laju emisi saat ini berarti ambang batas pemanasan 1,5°C bisa terlewati hanya dalam waktu tiga tahun.
Ini menjadi peringatan terbaru dari studi "Global Climate Change Indicators" yang dirilis dalam jurnal Earth System Science Data.
"Edisi tahunan ketiga indikator iklim global kami menunjukkan bahwa tingkat dan laju pemanasan saat ini belum pernah terjadi sebelumnya," kata Direktur Priestley Centre for Climate Futures di University of Leeds. Prof. Piers Forster seperti dikutip dari Phys.
Ia juga menjadi penulis utama dalam laporan tersebut. Masalahnya bukan sekadar suhu yang naik. Dampak pemanasan global sudah semakin nyata dan dirasakan luas. Emisi gas rumah kaca (GRK) tetap tinggi selama beberapa tahun terakhir.
![Aktivis lingkungan melakukan aksi di Jalan Sudirman, Jakarta, Jumat (27/9/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/original/2024/09/27/69636-aksi-krisis-iklim-demo-lingkungan.jpg)
Akibatnya, suhu permukaan global pada tahun 2024 diperkirakan telah meningkat 1,52°C dibandingkan masa pra-industri, dengan 1,36°C-nya berasal dari aktivitas manusia.
"Emisi GRK yang terus memecahkan rekor menyebabkan lebih banyak orang merasakan dampak iklim yang tidak aman," ujar Forster. Ia menambahkan, kebijakan dan aksi iklim belum secepat yang dibutuhkan untuk menahan laju perubahan ini.
Tak hanya suhu, kenaikan permukaan laut dan perubahan curah hujan global juga menjadi indikator penting yang kini dipantau lebih seksama. Dalam lima tahun terakhir saja (2019–2024), permukaan laut global naik sekitar 26 mm, lebih dari dua kali lipat rata-rata tahunan sejak awal abad ke-20.
"Sejak 1900, permukaan laut rata-rata global telah naik sekitar 228 mm," ungkap Dr. Aimée Slangen dari NIOZ Royal Netherlands Institute for Sea Research. Meski terlihat kecil, angka itu berdampak besar bagi kawasan pesisir dataran rendah. Banjir rob, abrasi, dan kerusakan ekosistem menjadi ancaman nyata.
Lautan menyimpan sekitar 91% dari kelebihan panas akibat emisi GRK. Dr. Karina Von Schuckmann dari Mercator Ocean International menjelaskan, pemanasan laut menyebabkan cuaca ekstrem meningkat dan mengancam kehidupan di laut maupun komunitas pesisir.
Baca Juga: Kekeringan Eropa Kian Parah, Dunia Perlu Waspada Dampaknya
Penyebab utama dari lonjakan suhu dan dampaknya adalah aktivitas manusia: pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan emisi metana. Selama satu dekade terakhir, dunia menghasilkan sekitar 53 miliar ton CO2e per tahun. Ironisnya, pemulihan sektor penerbangan pascapandemi juga mendorong lonjakan emisi pada 2024.
Studi ini juga menyoroti bahwa pendinginan planet secara alami melalui aerosol seperti sulfur dioksida (SO2) kini menurun. Padahal, penurunan aerosol ini justru memperparah pemanasan. Selain itu, GRK jangka pendek seperti metana perlu segera ditangani untuk mengimbangi efek tersebut.
"Jendela untuk tetap berada di bawah ambang 1,5°C semakin tertutup," tegas Prof. Joeri Rogelj dari Imperial College London. Ia menekankan bahwa dekade ini sangat menentukan. Setiap sedikit kenaikan suhu berarti cuaca ekstrem yang lebih sering dan intens.
Laporan ini memperkirakan, antara 2015 dan 2024, suhu global rata-rata 1,24°C lebih hangat dari era pra-industri. Hampir seluruhnya disebabkan oleh manusia. Tren ini mencerminkan bahwa pemanasan global bukan fenomena alami semata, tetapi hasil dari keputusan dan kebijakan kolektif manusia.
Meski begitu, studi ini tidak hanya berisi peringatan. Ia juga menjadi panggilan untuk aksi. Dengan pemangkasan emisi secara drastis dan sistematis, peluang memperlambat laju pemanasan masih ada. Dunia hanya perlu memilih: berdiam diri atau bergerak sekarang. Karena waktu tidak berpihak kepada kita.