Putusan MK Ubah Peta Politik 2029: Benarkah Teori Ekor Jas Pemilu Tak Lagi Relevan?

Rabu, 02 Juli 2025 | 18:28 WIB
Putusan MK Ubah Peta Politik 2029: Benarkah Teori Ekor Jas Pemilu Tak Lagi Relevan?
Ilustrasi efek ekor jas. Perubahan aturan penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan terpisah dalam putusan MK disebut berpengaruh pada peta politik pada Pemilu 2029 mendatang. [Suara.com/AI-ChatGPT]

Suara.com - Putusan Mahkamah Konstitusi atau MK berpotensi mengubah lanskap perpolitikan nasional pada Pemilu 2029 usai penetapan putusan perkara 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dengan pemilihan lokal.

Dalam putusannya, MK memberikan jeda waktu paling lama 2 tahun 6 bulan dan paling singkat 2 tahun antara pemilu nasional dengan pemilu lokal.

Jarak waktu yang tergolong lama tersebut menimbulkan pertanyaan, Apakah Coattail Effect atau teori ekor jas masih relevan?

Pertanyaan tersebut berdasar pada Pemilu 2019 dan Pemilu 2024 dirancang untuk memperkuat presidensial dengan menciptakan dampak ekor jas.

Teori ekor jas sendiri merujuk pada kecenderungan pemimpin partai politik populer untuk menarik suara bagi kandidat lain dari partai yang sama dalam suatu pemilihan.

Dalam konteks Pemilu serentak di Indonesia, popularitas calon pemimpin bisa berdampak terhadap partai pengusungnya atau partai koalisinya.

Namun dampak ekor jas ini di Indonesia masih menjadi perdebatan, karena umumnya bisa lebih terlihat di negara yang hanya memiliki dua partai politik. Berbeda dengan Indonesia yang menganut sistem multipartai.

Pengamat politik dari Citra Institute Yusak Farchan menilai dalam konteks pemilu di Indonesia, dampak dari ekor tidak terlalu signifikan.

Hal tersebut berdasarkan pada pengalaman pelaksanaan Pemilu 2019, pemilihan calon presiden dan legislatif tingkat nasional diselenggarakan secara serentak.

Baca Juga: MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal, Bisakah Jabatan Anggota DPRD Diperpanjang?

Pada pemilu saat itu, diikuti dua pasang calon presiden dan calon wakil presiden, Jokowi-Ma'ruf Amin yang diusung PDIP hingga NasDem.

Kemudian pasangan Prabowo-Sandiaga Uno diusung Gerindra hingga PKS.

"Nah, itu yang mendapatkan coattail effect bukan partai utama pengusung Pak Jokowi dalam hal ini adalah PDIP. Justru Nasdem yang coattail effect-nya paling tinggi, 2,31 persen data saya itu. PDIP hanya tipis, 0,37 persen kenaikan perolehan suaranya," kata Yusak saat dihubungi Suara.com, Rabu 2 Juli 2025.

Hal yang sama juga disebutnya terjadi pada kubu Prabowo-Sandiaga. Gerindra yang merupakan partai Prabowo bernaung justru tidak menikmati dampaknya.

"Pada 2019 Gerindra itu kenaikannya dari 2014 hanya 0,76 persen. Malah yang menikmati coattail effect PKS, 1,44, persen" kata Yusak.

"Artinya, kalaupun ada kenaikan itu tidak dinikmati oleh partai pendukung utama yang terasosiasi kepada calon presidennya.Nah, berarti boleh kita katakan kenaikannya pun juga nggak signifikan. Artinya, nggak ada hubungan sebetulnya antara Pilpres serentak dengan coattail effect," jelas Yusak.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI