Suara.com - Di era ketika segala hal bisa viral dalam hitungan detik, satu momen kecil dari tepian Sungai Batang Kuantan, Provinsi Riau berhasil mencuri perhatian dunia.
Bukan momen dari ajang olahraga internasional atau konferensi motivasi. Tapi dari Pacu Jalur, pesta rakyat di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, yang telah eksis sejak abad ke-17.
Rekaman video yang menampilkan seorang bocah kecil berdiri tegak di ujung perahu dengan tangan terkepal, tubuh mantap, mata tajam menatap ke depan yang langsung menjadi tren global.
Gaya itu kini dikenal sebagai “aura farming”, sebuah ekspresi yang dianggap menyatukan energi dan keberanian sebelum bertanding.
Dari Sungai ke Dunia: Lahirnya Aura Kolektif
Tren ini bukan isapan jempol. Atlet dunia dari berbagai cabang mulai mengadopsinya sebagai bentuk pemanasan mental sebelum bertanding.
Namun yang tak banyak orang tahu: gaya ini lahir bukan dari gym, bukan dari kamp pelatihan elite, melainkan dari sebuah tradisi lokal yang kental dengan nilai kebersamaan.
Dalam budaya Pacu Jalur, anak pacu (pendayung) bukan sekadar atlet. Mereka adalah penjaga tradisi, pembawa martabat kampung, dan lambang kekompakan kolektif. Setiap kali perahu panjang itu meluncur, bukan hanya kekuatan otot yang diuji, tapi juga jiwa, fokus, dan solidaritas.
Aura yang muncul di momen sebelum mendayung adalah bagian dari ritual tak kasat mata—menyatukan niat, energi, dan keberanian. Gaya bocah itu menjadi “ikon spiritual” dari kekuatan tersebut.
Baca Juga: Viral 2025, Tradisi Pacu Jalur Jadi Gaya Baru Atlet Dunia, Ini Asal Usulnya
Momen itu kini viral bukan tanpa alasan.
Dunia tengah mencari makna baru dalam performa, dan Pacu Jalur—dengan nilai leluhur dan solidaritasnya—menawarkan sebuah narasi yang kuat. Bahwa untuk menang, kita tak hanya butuh kekuatan fisik, tapi juga akar budaya dan jiwa yang utuh.
Dari situlah istilah “aura farming” lahir. Sebuah istilah modern yang justru punya akar purba. Sebuah gaya global yang berangkat dari sungai-sungai Riau. Ini bukti bahwa warisan lokal bisa menjadi sumber inspirasi global.
Dan ketika atlet dunia menirukan gaya si bocah jalur itu, mereka sebenarnya sedang mengangkat lebih dari sekadar tangan. Mereka sedang ikut menghormati budaya, menyatu dengan semangat rakyat, dan menanamkan keberanian dari tempat yang jauh dari gemerlap stadion: di atas air Sungai Kuantan.
Di abad ke-17, ketika belum ada jalan darat yang layak, warga di sepanjang Rantau Kuantan dari Hulu Kuantan hingga Cerenti hanya mengandalkan jalur yakni perahu panjang dari kayu bulat tanpa sambungan, untuk mengangkut pisang, tebu, dan hasil bumi lainnya.
Namun perlahan, jalur bukan lagi sekadar alat angkut. Ia diukir, dipercantik, dan diperlengkapi dengan selembayung, gulang-gulang, dan lambai-lambai, menunjukkan status sosial pemiliknya.