Curhatan Istri Diplomat Arya Daru Pangayunan

Bernadette Sariyem Suara.Com
Rabu, 09 Juli 2025 | 19:06 WIB
Curhatan Istri Diplomat Arya Daru Pangayunan
Meninggalnya Arya Daru Pangayunan, seorang diplomat ahli muda di Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) masih menyisakan misteri. (Kolase Suara.com)

Menjadi "bayangan" suami di pentas dunia memaksa Pita untuk terus belajar dan bertumbuh, bahkan di area yang tak pernah ia minati sekalipun.

Salah satu tantangan terbesarnya adalah seni tari. Demi tugas negara dan mendukung sang suami, ia yang mengaku kaku dan tidak punya minat, akhirnya harus terjun belajar menari.

"Saya yang tadinya bukan seorang penari dan belum ada minat ke sana, lama-lama mulai bisa merasakan enjoy," ujarnya.

Kegigihannya terbukti. Dari Tari Tobelo yang ia bawakan di Dili, Timor Leste, hingga Tari Lenggang Nyai yang dipentaskan dengan gemilang di malam resepsi diplomatik di Buenos Aires, Argentina, Pita menunjukkan sebuah transformasi pribadi yang luar biasa.

Perjuangan tidak berhenti di panggung. Komunikasi sehari-hari di Argentina, dengan kemampuan bahasa Spanyol yang terbatas, menjadi tantangan tersendiri.

Tapi, ia tak kehabisan akal dan menciptakan metodenya sendiri untuk bertahan.

"Ada kalanya saya bertemu orang yang tidak dapat berbahasa Inggris, saya akan melakukan bahasa 'salah paham'. Ya, saya salah, tapi dia paham," katanya dengan nada humor.

Kerinduan yang Terpendam

Di balik senyum ramahnya saat mendampingi suami, Pita mengakui ada "beban moral" berat yang selalu ia pikul.

Baca Juga: Selalu di Garda Depan Bela WNI, Kematian Diplomat Arya Terkait Kasus yang Ditanganinya?

Ia sadar betul bahwa setiap tindakan dan perilakunya akan menjadi cerminan bangsa Indonesia di mata dunia.

Sebuah insiden sederhana di Argentina menjadi bukti betapa dalam kesadaran ini tertanam.

Saat bertemu tetangganya yang sudah sepuh di lift, Pita secara refleks membungkukkan badan—sebuah gestur sopan santun yang lazim di Indonesia. Reaksi sang tetangga justru kebingungan.

"Suatu hari, saat saya bertemu dengan tetangga apartemen saya yang sudah sepuh sedang duduk menunggu lift bersama, saya melakukan itu dan Beliau bertanya, 'Apa kamu malu bertemu dengan saya?' Kemudian saya jelaskan dan kami pun menjadi sama-sama belajar," kenangnya.

Namun, di antara semua tantangan dan suka duka, ada satu duka sunyi yang selalu ia bawa: jarak dengan keluarga, terutama sang ibu di Yogyakarta.

Perbedaan waktu 10 jam saat bertugas di Argentina membuat intensitas komunikasi berkurang. Teknologi canggih, baginya, tak akan pernah mampu menggantikan hangatnya sebuah pelukan, menyisakan kerinduan yang selalu terpendam di belahan dunia lain.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI