Suara.com - Istilah "Restorative Justice" atau Keadilan Restoratif semakin sering terdengar dalam pemberitaan kasus hukum di Indonesia. Mulai dari kasus kecelakaan lalu lintas hingga perselisihan ringan.
Terkini opsi penyelesaian di luar pengadilan ini disepakati Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR dan pemerintah sebagai solusi kasus penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
Banyak masyarakat yang masih bingung, apa sebenarnya Restorative Justice itu? Apakah ini sekadar cara agar pelaku kejahatan bisa lolos dari penjara?
Jawabannya jauh lebih kompleks dari itu. Keadilan Restoratif adalah sebuah pergeseran fundamental dalam cara kita memandang kejahatan dan keadilan.
Jika sistem peradilan pidana konvensional (retributif) berfokus pada pertanyaan "Hukum apa yang dilanggar, siapa pelakunya, dan apa hukumannya?", maka Keadilan Restoratif mengajukan pertanyaan yang berbeda: "Siapa yang dirugikan, apa kebutuhan mereka, dan siapa yang bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian tersebut?"
Bukan Sekadar Menghukum, Tapi Memulihkan
Inti dari Keadilan Restoratif adalah pemulihan. Tujuannya bukan untuk memberikan penderitaan setimpal kepada pelaku, melainkan untuk memulihkan kerusakan yang ditimbulkan oleh tindak pidana—baik kerusakan material, psikologis, maupun hubungan sosial antara korban, pelaku, dan masyarakat.
Fokus utamanya adalah pada korban. Dalam sistem konvensional, korban seringkali hanya menjadi saksi. Dalam Keadilan Restoratif, suara, penderitaan, dan kebutuhan korban menjadi pusat dari proses penyelesaian.
Mereka diberi kesempatan untuk menyampaikan dampak kejahatan secara langsung kepada pelaku dan berperan aktif dalam menentukan cara pemulihan yang paling adil bagi mereka.
Baca Juga: Kritik Presiden Tak Harus Bui? DPR dan Pemerintah Setuju Pakai Restorative Justice
Seorang pakar hukum pidana menjelaskan, "Restorative justice menggeser paradigma dari sekadar balas dendam negara menjadi upaya penyembuhan kolektif. Fokusnya bukan pada 'berapa tahun kamu dihukum', melainkan 'bagaimana kita memperbaiki kerusakan yang telah terjadi', dan ini adalah perubahan fundamental."
Bagaimana Proses Restorative Justice Bekerja?
Meskipun bisa bervariasi, proses Keadilan Restoratif umumnya melibatkan beberapa tahapan kunci:
- Inisiasi: Kasus diidentifikasi oleh aparat penegak hukum (polisi atau jaksa) sebagai kasus yang memenuhi syarat untuk diselesaikan secara restoratif.
- Mediasi atau Konferensi: Ini adalah jantung dari prosesnya. Sebuah pertemuan sukarela diadakan yang mempertemukan korban dan pelaku. Pertemuan ini difasilitasi oleh seorang mediator terlatih dan seringkali juga dihadiri oleh keluarga dari kedua belah pihak serta perwakilan masyarakat (seperti tokoh adat atau ketua RT/RW).
- Dialog Terstruktur: Dalam forum ini, korban diberi kesempatan untuk menceritakan bagaimana kejahatan tersebut telah memengaruhi hidupnya. Pelaku, di sisi lain, diberi kesempatan untuk mengakui kesalahannya, menunjukkan penyesalan, dan memahami dampak perbuatannya secara langsung.
- Kesepakatan Pemulihan: Jika dialog berhasil, semua pihak akan bekerja sama untuk mencapai sebuah kesepakatan. Kesepakatan ini bukan sekadar "damai", melainkan berisi kewajiban konkret yang harus dipenuhi pelaku, misalnya:
- Permintaan maaf secara tulus (lisan atau tertulis).
- Memberikan ganti rugi materiil atas kerugian yang diderita korban.
- Melakukan kerja sosial di lingkungan sekitar.
- Menjalani rehabilitasi atau konseling.
Jika kesepakatan ini berhasil dilaksanakan, maka proses hukum terhadap pelaku dapat dihentikan.
Syarat dan Batasan: Tidak Semua Kasus Bisa Diselesaikan
Penting untuk dicatat bahwa Keadilan Restoratif bukanlah solusi untuk semua jenis kejahatan. Di Indonesia, penerapannya diatur secara ketat oleh Peraturan Kepolisian dan Kejaksaan. Beberapa syarat umum yang harus dipenuhi adalah: