Ia menyatakan bahwa KAPA sebenarnya adalah warga Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, bukan warga Kota Bekasi.
Ini adalah perbedaan wilayah administrasi yang fundamental dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Menurut Tri, KAPA memang mendaftar ke salah satu SMP Negeri di wilayah Bantargebang, Kota Bekasi, melalui jalur prestasi.
Namun, karena perbedaan domisili antara KTP/Kartu Keluarga (Kabupaten Bekasi) dengan sekolah tujuan (Kota Bekasi), sistem secara otomatis menolak pendaftaran tersebut.
“Jadi, narasi yang dibuat seolah pemulung, orang miskin, kemudian Pemerintah Kota Bekasi menolak, salah kamar,” ujar Tri. Penolakan tersebut, tegasnya, murni disebabkan oleh aturan sistem zonasi, bukan karena faktor diskriminasi sosial ataupun ekonomi.
Intervensi Publik dan Solusi Akhir
Keviralan video KAPA bahkan sampai ke telinga tokoh publik sekaligus Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Tri Adhianto mengaku telah dihubungi langsung terkait persoalan ini.
“Dia mengaku telah dihubungi Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi usai viralnya video tersebut,” tulis narasi yang beredar.
Setelah mendapat klarifikasi bahwa KAPA bukan warga Kota Bekasi, Dedi Mulyadi tetap meminta Tri untuk membantu mencarikan solusi bagi remaja tersebut.
Baca Juga: Hadiri Rakor Pencegahan Korupsi Bareng KPK dan Kepala Daerah Lain, Dedi Mulyadi Datang Terlambat
Pada akhirnya, masalah pendidikan KAPA menemukan titik terang. Ia telah dipastikan diterima di sekolah yang sesuai dengan wilayah tempat tinggalnya.
“Dia bisa masuk jalur zonasi di SMPN 2 Setu. Jadi yang bersangkutan sudah sesuai dengan jalurnya,” kata Tri.