Lebih dari Setengah Juta Penerima Bansos Kecanduan Judi Online, Ini Kata Sosiolog UGM

Kamis, 10 Juli 2025 | 17:26 WIB
Lebih dari Setengah Juta Penerima Bansos Kecanduan Judi Online, Ini Kata Sosiolog UGM
Ilustrasi judi online (dok.Istimewa)

Suara.com - Belum lama ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap lebih dari setengah juta penerima bantuan sosial (bansos) terindikasi bermain judi online (judol).

Berdasarkan catatan, total deposit judi online mencapai 571.410 NIK penerima bantuan sosial selama tahun 2024 mencapai Rp 957 miliar dengan 7.5 kali transaksi.

Menanggapi hal ini, Sosiolog UGM Andreas Budi Widyanta, menilai kondisi tersebut tak bisa serta merta disalahkan kepada penerima bansos. Sebab, para penerima bansos itu justru merupakan korban dari spiral kekerasan negara.

"Ini bukan soal moralitas individu semata, tapi soal absennya negara dalam memberi perlindungan dan literasi digital pada warganya," kata Widyanta, di Kampus UGM, Kamis (10/7/2025).

Fenomena ini perlu dipahami dalam lingkup yang lebih luas. Setidaknya ada dua persoalan besar tentang lingkaran setan keterlibatan warga miskin dalam judi online.

Pertama terkait dengan ketidaktepatan data bansos. Menurutnya, data penerima bansos kerap kali tidak akurat dan digunakan sebagai alat politik, terutama menjelang pemilu

Kedua soal ketidaksiapan masyarakat digital. Tidak sedikit kemudian warga yang tidak memiliki literasi digital yang memadai, sehingga mudah terjebak dalam aplikasi judol.

"Penerima bansos hanyalah bagian kecil dari warga yang terjerat judi online. Ini fenomena masyarakat digital yang tidak pernah disiapkan secara literasi. Negara absen memberi penyadaran," ujarnya.

Negara disebut lalai bahkan terlibat dalam pembiaran kasus-kasus judol itu. Widyanta mengkritik keras Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI yang dinilai tidak menjalankan fungsinya untuk melindungi publik dari praktik judi online.

Baca Juga: Ada 571 Ribu NIK Penerima Bansos Ternyata Pemain Judol, Kepala PPATK: Itu Baru dari Satu Bank

Ia menyebut bahwa platform-platform judi online yang beroperasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tarik ulur kepentingan politik dan ekonomi.

"Negara membiarkan bahkan memfasilitasi praktik judi online yang jelas-jelas merugikan rakyat. Seharusnya negara melindungi, bukan mengeksploitasi," tegasnya.

Dampaknya, kata Widyanta, sangat luas. Dia menyebut adanya spiral kekerasan yang bermula dari judi online, lalu berlanjut pada pinjaman online, hingga mendorong masyarakat melakukan tindakan ekstrem lainnya.

Mulai dari menjual aset atau tindakan kriminal bahkan kekerasan demi melunasi utang. Penindakan saja tidak cukup dalam mengatasi persoalan itu.

Menurut Widyanta, negara harus melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap pihak-pihak yang menyalahgunakan kekuasaan. Selain itu, masyarakat juga perlu diberdayakan secara sosial dan ekonomi.

Sehingga tidak hanya menjadi penerima bantuan sosial saja secara berkala. Namun bisa aktif dan berusaha secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan hidup.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI