Bagi sebagian koruptor kelas kakap, rasa malu mungkin sudah menjadi kemewahan yang tidak lagi mereka miliki. Kalkulasi mereka adalah untung-rugi materiil, bukan soal harga diri.
Efek jera yang sesungguhnya tidak terletak pada panggung seremonial penangkapan, melainkan pada kepastian hukum: proses penyidikan yang kuat, tuntutan yang maksimal, vonis yang berat, dan yang terpenting, perampasan seluruh aset hasil korupsi hingga mereka jatuh miskin.
Fokus pada upaya pemiskinan koruptor dan penegakan hukum yang tanpa pandang bulu diyakini jauh lebih menakutkan daripada sekadar parade tanpa masker selama beberapa menit.
Wacana ini juga bisa dilihat sebagai sebuah gejala. Ketika efektivitas pemberantasan korupsi secara substantif dirasa menurun—ditandai dengan revisi UU KPK, pelemahan status pegawai, dan sejumlah kontroversi lainnya—maka lembaga bisa jadi terdorong untuk mencari kemenangan-kemenangan simbolis.
Menampilkan wajah tersangka adalah sebuah pertunjukan yang mudah dicerna dan memuaskan dahaga publik akan "keadilan instan," namun bisa jadi mengalihkan perhatian dari pekerjaan rumah yang lebih rumit dan fundamental.
KPK mengklaim kajian internal sedang dilakukan untuk menyusun mekanisme yang jelas.
"KPK akan menyusun pengaturan atau mekanismenya, dan menjadi pedoman bagi seluruh pihak-pihak terkait, khususnya tahanan yang dilakukan pemeriksaan,” kata Budi Prasetyo.
Namun, pedoman tersebut harus mampu menjawab dilema besar: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan akan transparansi dan efek jera dengan perlindungan hak-hak dasar seorang terduga yang belum terbukti bersalah di pengadilan.
Baca Juga: Babak Baru Kasus Chromebook: Usai Kantor GoTo Digeledah, Kejagung Panggil Ulang Nadiem Makarim