Gibran Gencar Promosikan AI, Pakar NTU Justru Khawatirkan Ancaman 'Pembodohan' Massal

Sabtu, 12 Juli 2025 | 09:33 WIB
Gibran Gencar Promosikan AI, Pakar NTU Justru Khawatirkan Ancaman 'Pembodohan' Massal
Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka [Youtube/Gibran Rakabuming Raka]

Suara.com - Upaya Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka untuk memposisikan diri sebagai pemimpin yang akrab dengan teknologi masa depan mendapat sorotan tajam.

Promosinya yang gencar terhadap kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) justru dinilai menyimpan bahaya laten yang serius jika tidak ditangani dengan pemahaman komprehensif.

Kritik pedas ini datang dari Prof. Sulfikar Amir, seorang Professor of Science dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura.

Dalam sebuah analisis di podcast Forum Keadilan TV, ia membedah narasi AI yang dibangun oleh Gibran dan menyebutnya cenderung glorifikasi yang dangkal dan naif.

Menurut Prof. Sulfikar, citra melek teknologi yang coba dibangun putra sulung Presiden Jokowi itu tidak diimbangi dengan pemahaman substansial mengenai kompleksitas AI.

"Gibran mencoba membangun identitas sebagai Wapres yang melek teknologi dengan mempromosikan AI," ungkap Prof. Sulfikar.

Namun, ia dengan cepat menggarisbawahi kelemahan fundamental dari narasi tersebut.

"Narasi Gibran terkait penggunaan AI dinilai sangat naif, dangkal, dan hanya mengglorifikasi AI tanpa pemahaman mendalam tentang cara kerja dan dampaknya." 

Prof. Sulfikar Amir, Professor of Science dari Nanyang Technological University, Singapura di Podcast Forum Keadilan TV. [YouTube]
Prof. Sulfikar Amir, Professor of Science dari Nanyang Technological University, Singapura di Podcast Forum Keadilan TV. [YouTube]

Prof. Sulfikar menegaskan bahwa AI bukanlah sekadar persoalan komputer canggih atau algoritma. Ada ekosistem kompleks yang melingkupinya, mulai dari regulasi hingga pertanggungjawaban etis dan sosial yang kerap luput dari diskusi di level elite politik.

Baca Juga: Lebih Pilih Pakai AI, Perusahaan Lowongan Kerja Indeed PHK 1.300 Karyawan

"AI tidak hanya soal komputer dan algoritma, tetapi juga mencakup institusi, regulasi, etika, dan tanggung jawab sosial," jelasnya.

Atas dasar itu, ia mewanti-wanti potensi bencana dari promosi yang gegabah. "Promosi AI yang dilakukan Gibran berpotensi memiliki dampak buruk jika tidak didasari pemahaman yang komprehensif," tegasnya.

Ancaman 'Pembodohan' Massal dan Risiko Penurunan Kognitif

Salah satu kekhawatiran paling serius yang diungkapkan Prof. Sulfikar adalah potensi AI untuk menurunkan kapasitas kognitif manusia secara massal.

Ia merujuk pada sebuah studi kredibel dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang menunjukkan sisi gelap dari ketergantungan pada model bahasa besar (LLM) seperti ChatGPT.

"Penelitian dari MIT menunjukkan bahwa penggunaan AI (khususnya Large Language Model seperti ChatGPT) dapat membuat orang tambah bodoh karena mengurangi konektivitas otak." 

Logikanya sederhana: AI dirancang untuk mengambil alih fungsi kecerdasan alami manusia. Ketika kecerdasan alami itu jarang diasah, kemampuannya pun akan tumpul. Dari premis ini, Prof. Sulfikar menarik kesimpulan yang menohok.

"Mempromosikan AI secara besar-besaran tanpa pemahaman yang cukup berarti ikut mempromosikan kebodohan." 

Ilustrasi AI. [Microsoft Copilot]
Ilustrasi AI. [Microsoft Copilot]

Ia menambahkan ironi di baliknya, "Kecerdasan buatan dirancang untuk menggantikan kecerdasan natural, dan jika kecerdasan natural jarang digunakan, kapasitasnya akan berkurang." 

Sebagai antitesis dari pendekatan Indonesia yang terkesan gegabah, ia mencontohkan Singapura. Negara tetangga itu sangat berhati-hati dalam mengadopsi AI, terutama di sektor krusial seperti pendidikan.

"Singapura sangat hati-hati dalam penggunaan AI, menetapkan batas yang jelas kapan boleh dan tidak boleh digunakan, bahkan memberikan nilai nol pada mahasiswa yang menyalahgunakan AI dalam tugas," paparnya.

Tiga Konsekuensi Sosial yang Mengintai dan Kritik Kebijakan

Lebih jauh, Prof. Sulfikar memetakan setidaknya tiga konsekuensi sosial besar yang mengintai Indonesia jika adopsi AI tidak dikelola dengan bijak. Pertama adalah disrupsi pasar tenaga kerja. "Kehilangan lapangan pekerjaan untuk jutaan orang," katanya.

Kedua, revolusi di dunia pendidikan di mana "peran guru dan profesor bisa tergantikan."

Dan yang ketiga, ancaman terhadap stabilitas sosial-politik melalui "penyebaran informasi palsu (seperti deep fake) yang dapat menyebabkan disrupsi sosial politik." 

Ia juga pesimis Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam revolusi AI global. Menurutnya, Indonesia hanya akan menjadi pasar.

"Indonesia kemungkinan besar hanya akan menjadi pengguna atau penonton dalam dunia AI karena butuh investasi besar dan negara lain sudah memulai jauh lebih dulu." 

Ilustrasi AI (freepik)
Ilustrasi AI (freepik)

Pada akhirnya, promosi AI yang dilakukan Gibran dipandang sebagai cerminan dari keterbatasan dalam memahami isu-isu kompleks dan bisa memperburuk masalah yang sudah ada.

"Promosi AI oleh Gibran bisa jadi merupakan indikator keterbatasannya dalam memahami masalah yang kompleks," ujarnya, seraya khawatir bahwa "AI bisa memperparah ketimpangan sosial dan rendahnya daya kognitif anak-anak." 

Prof. Sulfikar menyimpulkan bahwa seluruh pendekatan ini tidak terencana secara matang.

"Apa yang dilakukan Gibran dalam promosi AI lebih berdasarkan intuisi, tidak terprogram secara sistematis, dan tidak ada grand design kebijakan AI yang jelas," pungkasnya.

Ia bahkan menyentil gaya kepemimpinan yang lebih mengutamakan kerja praktis ketimbang kajian mendalam. "Gibran dan ayahnya (Jokowi) dinilai tidak suka kajian dan lebih suka 'kerja, kerja, kerja'."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI