Suara.com - Rencana Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk berkantor di Papua yang kini dibatalkan menuai kritik pedas dari sejumlah pengamat politik. Keputusan tersebut dinilai menunjukkan ketidaksiapan Gibran dalam memahami isu-isu strategis bangsa.
Pengamat politik Rocky Gerung menyebut, batalnya rencana itu adalah cerminan bahwa Gibran belum memahami posisi vital Papua dalam geopolitik global, khususnya di kawasan Asia Pasifik.
“Papua itu pusat gravitasi kawasan Asia Pasifik. Kalau Gibran serius belajar politik dunia, dia harusnya tinggal di sana, bukan cuma dinas bolak-balik,” ujar Rocky dalam kanal YouTube Hendri Satrio Official, Senin (14/7/2025).
Menurut Rocky, jika Gibran benar-benar punya ambisi untuk maju di Pilpres 2029, Papua seharusnya menjadi kawah candradimuka untuk membangun citra kepemimpinan yang kuat.
“Harusnya bilang ke Prabowo, ‘Saya mau magang di Papua sampai 2029, bukan cuma mampir'," katanya.
Rocky lantas melontarkan sindiran tajam. Menurutnya, dengan tetap berada di Jakarta, Gibran hanya akan terjebak dalam isu-isu remeh yang tidak substansial.
“Kalau di Jakarta, ya bagi-bagi skincare lagi. Padahal, yang dibutuhkan bangsa ini brand care,” sindir Rocky tajam.
Ia pun menyayangkan jika Gibran tidak melihat Papua sebagai titik penting politik luar negeri Indonesia, yang berhadapan langsung dengan Australia dan pangkalan militer Amerika Serikat. “Mungkin dia merasa tidak mampu, atau tidak sesuai dengan arahan bapaknya,” sindir Rocky.
Kritik tak kalah pedas datang dari pengamat politik Ferdinand Hutahaean. Ia menilai, menugaskan Gibran ke Papua sejak awal adalah sebuah kekeliruan besar.
Baca Juga: Soal Surat Pemakzulan Gibran: Puan Klaim Masih Diproses, Purnawirawan TNI Kasih Waktu 1 Bulan
“Papua itu bukan masalah sepele. Ada empat persoalan utama: kemiskinan, ketertinggalan, eksploitasi sumber daya alam yang tidak adil, dan OPM yang terus eksis,” jelas Ferdinand.
Ia menganggap masalah Papua terlalu kompleks untuk ditangani oleh sosok yang minim pengalaman. Penugasan itu, menurutnya, justru menunjukkan ketidakpahaman para elit politik terhadap realitas di lapangan.
“Jujur saya kaget. Gibran ditugaskan urus Papua? Itu sama saja menyuruh anak kecil menyelesaikan pekerjaan orang dewasa.”
Ferdinand bahkan meragukan niat tulus di balik rencana awal tersebut, apakah benar untuk membangun Papua atau sekadar proyek pencitraan semata. “Saya sangsi apakah tujuannya benar-benar untuk membangun Papua secara substansial, atau cuma proyek pencitraan semata.”