Suara.com - Sebuah video singkat di media sosial baru-baru ini kembali menyentak kesadaran publik.
Di dalamnya, seorang guru honorer dengan pilu menyuarakan dua kepahitan sekaligus: gaji yang tak seberapa dan sulitnya mendapat Surat Keputusan (SK) pengangkatan tanpa bantuan 'orang dalam' di lingkar kekuasaan.
Keluhan ini bukan sekadar curahan hati pribadi, melainkan representasi dari masalah sistemik yang telah lama membelenggu dunia pendidikan Indonesia.
Ini adalah ironi besar. Di satu sisi, kita menuntut pendidikan berkualitas untuk melahirkan generasi emas.
Di sisi lain, para pendidik yang berada di garda terdepan justru hidup dalam ketidakpastian, jauh dari kata sejahtera.
Jeritan Hati Guru Honorer: Antara Pengabdian dan Kesejahteraan
Kondisi guru honorer di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung usai.
Dengan status kepegawaian yang tidak pasti, mereka sering kali menerima upah yang jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR).
Tak jarang, viral di media sosial kisah guru yang menunjukkan slip gaji ratusan ribu rupiah per bulan, angka yang sangat kontras dengan beban kerja dan tanggung jawab mereka dalam mendidik anak bangsa.
Baca Juga: Ngaku Baru Bangun Tidur, Lisa Mariana Bungkam Saat Penuhi Panggilan Polisi Terkait Video Asusila
Pemerintah memang telah menggulirkan beberapa program, seperti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sebagai salah satu solusi.
Tujuannya mulia, yaitu memberikan status dan penghasilan yang lebih layak.
Namun, pelaksanaannya di lapangan masih menghadapi berbagai kendala.
Banyak guru yang sudah lolos seleksi, namun tak kunjung mendapat formasi penempatan.
Proses seleksi itu sendiri juga seringkali dikeluhkan karena berbagai masalah teknis dan administrasi.
Di tengah kabar baik rencana kenaikan tunjangan profesi dan bantuan bagi guru honorer pada tahun 2025, pertanyaan mendasar tetap menggantung: apakah langkah ini akan benar-benar menyentuh akar masalah?
Tanpa pengawasan yang ketat dan perbaikan sistem secara menyeluruh, kebijakan ini berisiko hanya menjadi solusi sementara.
Fenomena 'Orang Dalam': Rahasia Umum yang Merusak Meritokrasi
Keluhan guru dalam video tersebut mengenai sulitnya mendapat SK tanpa koneksi menyorot borok lain dalam birokrasi kita: fenomena "orang dalam" atau ordal.
Ini adalah praktik di mana koneksi personal, hubungan keluarga, atau kedekatan dengan pemegang kuasa menjadi kunci untuk mendapatkan pekerjaan atau jabatan, mengalahkan kompetensi dan kualifikasi.
Secara naratif, praktik ini seringkali dianggap sebagai hal yang lumrah dan bahkan menjadi jalan pintas yang dimaklumi di tengah ketatnya persaingan.
Bagi sebagian orang, menggunakan 'orang dalam' adalah strategi bertahan hidup.
Namun, di sisi lain, fenomena ini secara langsung merusak sistem meritokrasi—sistem yang seharusnya menilai individu berdasarkan prestasi, kompetensi, dan kinerjanya.
Ketika rekrutmen tidak lagi transparan dan berbasis pada kemampuan, dampaknya sangat merusak.
Kualitas sumber daya manusia di instansi tersebut menurun, menurunkan motivasi mereka yang berkompeten namun tak punya koneksi, dan yang paling berbahaya, menyuburkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Kasus kecurangan dan percaloan dalam seleksi PPPK di beberapa daerah menjadi bukti nyata bagaimana praktik ini merugikan para guru honorer yang jujur.
Langkah Mendesak Pemerintah dan Pengawasan DPR
Pendidikan adalah investasi jangka panjang sebuah bangsa. Mengabaikan kesejahteraan dan keadilan bagi para gurunya sama saja dengan menggadaikan masa depan.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai representasi rakyat memiliki tanggung jawab besar untuk menuntaskan masalah ini.
Berikut adalah langkah-langkah konkret yang harus menjadi prioritas:
Akselerasi Pengangkatan Honorer dengan Sistem Transparan: Pemerintah harus menyederhanakan dan mempercepat proses seleksi serta penempatan guru honorer menjadi ASN (PNS atau PPPK).
Proses ini wajib dilakukan secara transparan, akuntabel, dan berbasis meritokrasi untuk menutup celah bagi praktik 'orang dalam'.
Menciptakan Jaring Pengaman Finansial: Sembari menunggu proses pengangkatan, perlu ada standar upah minimum yang layak bagi seluruh guru honorer yang dananya bersumber dari APBN/APBD, bukan hanya mengandalkan dana BOS.
Rencana bantuan langsung tunai (BLT) bulanan sebesar Rp300 ribu hingga Rp500 ribu adalah langkah awal yang baik, namun harus dipastikan penyalurannya tepat sasaran dan waktu.
Penguatan Fungsi Pengawasan DPR: Komisi X DPR RI harus secara aktif dan berkelanjutan mengawasi implementasi kebijakan kesejahteraan guru.
Mereka harus menjadi penyambung lidah para guru, memastikan setiap keluhan ditindaklanjuti, dan mendorong lahirnya regulasi yang lebih melindungi hak-hak pendidik.
Reformasi Birokrasi Total: Fenomena 'orang dalam' harus diperangi secara serius melalui reformasi birokrasi. Ini mencakup penegakan hukum yang tegas terhadap praktik KKN, penguatan sistem rekrutmen berbasis kompetensi, dan promosi budaya kerja yang berintegritas.
Kisah guru honorer yang viral seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua.
Ini bukan lagi waktunya untuk solusi tambal sulam.
Diperlukan sebuah gerakan bersama dan kemauan politik yang kuat untuk benar-benar memuliakan guru, tidak hanya dalam ucapan, tetapi juga dalam tindakan nyata.