Pertemuan Konvensi Lahan Basah yang akan digelar di Air Terjun Victoria, Zimbabwe, dalam waktu dekat diharapkan bisa mendorong tindakan nyata dari negara-negara anggota, termasuk Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia.
Meski demikian, belum ada kejelasan apakah seluruh anggota akan mengirim delegasi.
Kerusakan terparah terjadi di kawasan Afrika, Amerika Latin, dan Karibia, meskipun Eropa dan Amerika Utara kini menunjukkan tren penurunan yang serupa.
Proyek restorasi saat ini sedang dilakukan di beberapa negara seperti Zambia, Kamboja, dan Tiongkok.
Secara historis, lahan basah telah rusak selama lebih dari 300 tahun akibat alih fungsi lahan, pengeringan rawa, hingga pembangunan kota.
Karena letaknya strategis dan tanahnya subur, wilayah ini terus menjadi incaran perluasan permukiman dan pertanian.
Namun, justru di tengah krisis iklim global, lahan basah menyimpan solusi alami yang tak ternilai: menyerap karbon, menahan banjir, meningkatkan kesejahteraan, hingga menyediakan habitat penting bagi keanekaragaman hayati.
Studi terbaru di Nature menunjukkan bahwa sejak tahun 1700, sekitar 21 persen lahan basah dunia telah hilang, luasnya setara dengan wilayah India.
Beberapa negara mengalami kehilangan yang jauh lebih besar, seperti Irlandia yang sudah kehilangan lebih dari 90% lahan basahnya.
Baca Juga: Tak Ada Ole Romeny, Mauro Zijlstra Pun Jadi
Di Eropa, separuh lahan basah telah hilang, sementara Inggris kehilangan hingga 75%.
Kawasan lain seperti AS, Asia Tengah, India, Jepang, dan Asia Tenggara telah kehilangan hingga 50% dari total lahan basah aslinya.
Angka-angka ini menjadi sinyal mendesak bahwa tanpa intervensi besar-besaran dan cepat, dunia akan kehilangan salah satu sekutu terbesarnya dalam menghadapi krisis iklim dan ketahanan ekonomi jangka panjang.