suara hijau

KLH Ungkap Penyebab Banjir di Kawasan Puncak: Apa Sanksinya?

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Kamis, 17 Juli 2025 | 10:58 WIB
KLH Ungkap Penyebab Banjir di Kawasan Puncak: Apa Sanksinya?
Menteri LH/Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq ketika meninjau Desa Tugu Utara dan Pondok Pesantren Al Baros yang terdampak banjir dan longsor di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (7/7/2025) ANTARA/HO-KLH/aa.

Suara.com - Banjir dan longsor yang melanda kawasan Puncak, Bogor, pada Maret dan Juli 2025 jadi peringatan keras akan darurat ekologis di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan Cileungsi.

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyatakan, penyebab utama bencana ini adalah kerusakan ekosistem hulu akibat alih fungsi lahan yang tidak terkendali, lemahnya pengendalian tata ruang, serta menjamurnya bangunan tanpa persetujuan lingkungan yang sah.

"Hasil pengawasan lapangan KLH/BPLH mengungkapkan bahwa penyebab utama bencana adalah kerusakan ekosistem hulu secara masif akibat alih fungsi lahan yang tidak terkendali, lemahnya pengendalian tata ruang, serta menjamurnya bangunan tanpa persetujuan lingkungan yang sah," kata Menteri Lingkungan Hidup sekaligus Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, di Jakarta, Kamis.

Rangkaian bencana itu menewaskan tiga orang, menyebabkan satu orang hilang, serta merusak tujuh desa di Kecamatan Cisarua dan Megamendung. Dampaknya juga terasa di wilayah hilir seperti Jakarta dan Bekasi.

Hanif menyoroti banyaknya bangunan yang berdiri di atas lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Perkebunan Nusantara I Regional 2 (eks PTPN VIII), meskipun kawasan tersebut telah memiliki Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) sejak 2011.

KLH/BPLH kemudian mengambil langkah tegas terhadap 21 pelaku usaha. Delapan persetujuan lingkungan dicabut, dan surat resmi telah dikirimkan kepada Bupati Bogor dengan ultimatum pencabutan izin dalam waktu 30 hari kerja.

Delapan perusahaan disebut memiliki persetujuan lingkungan yang tumpang tindih dengan DELH milik PTPN I Regional 2.

Tiga di antaranya, PT Bumi Nini Pangan Indonesia, PT Jaswita Lestari Jaya, dan PT Pancawati Agro, telah dikonfirmasi akan dicabut izinnya oleh Bupati Bogor, sementara lima sisanya masih dalam proses evaluasi oleh Dinas Lingkungan Hidup setempat.

Jika dalam batas waktu yang ditentukan pencabutan tidak dilakukan, KLH akan mengambil alih langsung proses tersebut.

Baca Juga: Siapkan Rp 4 Triliun untuk Atasi Banjir Jakarta, Gubernur Pramono: Tidak Seperti Jinny oh Jinny

Evaluasi teknis juga menemukan pelanggaran berat seperti pembukaan lahan dalam kawasan taman nasional, tidak adanya pengelolaan air larian, tidak dilakukan pengukuran kualitas udara, air limbah domestik, maupun kebisingan, serta ketiadaan fasilitas penyimpanan limbah B3.

Salah satu temuan paling mencolok adalah kegiatan operasional PT Pinus Foresta Indonesia yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

KLH/BPLH juga menjatuhkan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah kepada 13 pelaku usaha lainnya. Mereka diwajibkan menghentikan seluruh aktivitas dalam waktu tiga hari, membongkar bangunan dalam 30 hari, dan memulihkan lingkungan paling lambat dalam 180 hari.

Untuk mencegah bencana serupa di masa depan, KLH mendorong reformasi tata ruang berbasis Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), memperkuat peran masyarakat dalam edukasi dan pengawasan pembangunan, serta mengembangkan kebijakan berbasis kajian geologi dan karakteristik tanah.

"KLHS menjadi acuan penting agar tata ruang tidak bertentangan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta mampu mencegah bencana ekologis yang berulang," ujar Hanif Faisol Nurofiq.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI