Ironisnya, kehadiran sang adik bukanlah sebuah rahasia. Ia sedang sah menginap di rumah saudaranya, dan kehadirannya pun sudah dilaporkan sebelumnya.
Asumsi liar pelaku telah mengubah momen keluarga yang normal menjadi sebuah adegan kekerasan yang traumatis. Momen 'syok' bagi pelaku adalah saat ia menyadari bahwa pahlawan yang ia bayangkan dalam dirinya, ternyata hanyalah seorang pelaku penganiayaan terhadap korban yang salah.
Hati siapa yang tak hancur melihat propertinya dirusak dan adiknya dianiaya karena tuduhan tak berdasar?
Pemilik rumah meluapkan amarah dan kekecewaannya melalui media sosial, sebuah curahan hati yang langsung viral dan menuai simpati publik.
“Kaya gini kah bagian keamanan Wengga Happy Timur. Mendobrak pintu rumahku jam 1 malam. Dia pikir anakku itu bawa pacarnya padahal adenya sendiri,” tulisnya, sebuah kalimat yang menyiratkan betapa dalamnya luka akibat insiden ini.
Langkah hukum pun segera diambil. Kasus ini telah resmi dilaporkan ke kepolisian setempat.
Pelaku kini harus bersiap menghadapi jerat hukum yang serius, mulai dari Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang hingga Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
Asumsinya yang berharga beberapa menit itu kini bisa ditukar dengan hukuman penjara bertahun-tahun.
Insiden di Baamang adalah pelajaran mahal bagi kita semua. Ini adalah bukti nyata betapa berbahayanya ketika asumsi dan emosi dibiarkan membunuh logika. Main hakim sendiri bukanlah solusi, melainkan sumber masalah baru yang jauh lebih besar.
Baca Juga: Dijual ke Telegram, Gadis ABG di Kalteng Bikin Video Terlarang Dibantu Pemuda Tanggung