Mahkamah menyatakan bahwa UUD 1945 memang tidak menetapkan syarat pendidikan dan mendelegasikannya kepada pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan Pemerintah.
Dengan demikian, MK seolah "melempar bola panas" ini kembali ke pangkuan para politisi. Jika memang ada kebutuhan mendesak untuk mengubah syarat pendidikan capres-cawapres, maka arenanya adalah di ruang rapat DPR, bukan di ruang sidang MK.
“Dalam hal ini, bilamana diperlukan, pembentuk undang-undang dapat mengkaji kembali perihal persyaratan batasan pendidikan paling rendah atau minimum bagi capres dan cawapres dengan menentukan syarat pendidikan yang dinilai ideal,” ucap Ridwan.
Pernyataan ini adalah sebuah pengingat bahwa perubahan fundamental dalam syarat kepemimpinan nasional adalah keputusan politik (political question), bukan sekadar persoalan tafsir hukum (legal question).
Kecerdasan Pemilih dan Dissenting Opinion yang Menarik
MK juga merujuk pada fakta empiris sejak Pemilu 2004, di mana hampir seluruh kandidat yang muncul memiliki latar belakang pendidikan tinggi, jauh di atas SMA.
Argumen ini seolah menaruh kepercayaan pada dua entitas: partai politik yang dianggap akan selalu mencari kandidat terbaik, dan kecerdasan pemilih yang dinilai mampu menyeleksi calon berdasarkan rekam jejak, bukan hanya selembar ijazah.
Menariknya, di tengah persetujuan mayoritas hakim, Ketua MK Suhartoyo justru menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Namun, perbedaannya bukan pada substansi perkara. Suhartoyo menilai para pemohon seharusnya tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan.
Baca Juga: Dibongkar Mantan Rektor UGM, Jokowi Tak Pernah Lulus Jadi Sarjana
Artinya, menurut sang Ketua, perkara ini bahkan tidak layak untuk dipertimbangkan pokok permohonannya sejak awal.
Pada akhirnya, putusan ini menjadi penegasan bahwa di panggung demokrasi Indonesia, 'ijazah rakyat'—berupa suara di kotak pemilu—masih menjadi kualifikasi tertinggi, mengalahkan gelar akademis apapun yang coba digugat di Mahkamah.