Suara.com - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, menegaskan bahwa di banyak negara maju tak ada aturan yang mensyaratkan seorang calon presiden atau calon wakil presiden harus berpendidikan tinggi atau minimal sarjana strata 1 (S1).
Hal itu disampaikan Dede menanggapi soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan uji materi yang menuntut syarat pendidikan minimal S1 bagi calon presiden dan wakil presiden.
"Nah ini juga di berbagai negara, bahkan negara maju pun juga mengunakan hal yang sama. Dia tidak ditetapkan syarat minimal standar pendidikan apakah D3 apakah S1 atau yang lainnya," kata Dede kepada wartawan, Jumat (18/7/2025).
Ia mengatakan, dalam Undang-Undang yang mengatur syarat capres-cawapres itu memang memberikan ruang kepada semua warga negara untuk bisa mencalonkan atau dicalonkan.
"Tanpa memandang diskriminasi terhadap latar belakang ataupun pendidikan seseorang," ujarnya.
Kendati begitu, ia menegaskan, bagi yang ingin mencalonkan dan dicalonkan harus jelas kewarganegaraannya. Terlebih harus memiliki rekam jejak yang baik.
"Tapi, yang jelas adalah berkewarganegaraan asli itu penting sekali. Kedua tentu memiliki rekam jejak yang baik, positif dan tidak ada jejak-jejak yang negatif," ungkapnya.
"Nah, mungkin yang paling penting adalah kemampuan-kemampuan baik berorganisasi, kemampuan manajerial, kemampuan utk mengatasi masalah-masalah krisis dan lain-lain itu salah satu yang menjadi jejak yang harus dimiliki oleh seorang calon presiden atau wapres," katanya menambahkan.
Sebelumnya, dalam putusan yang dibacakan pada Kamis (17/7/2025), MK menolak seluruh permohonan uji materi yang menuntut syarat pendidikan minimal S1 bagi calon presiden dan wakil presiden.
Baca Juga: Sempat Kena Mental, Kaneishia Yusuf Sering Dianggap Jadi Artis Jalur Popularitas Ayah
Palu hakim yang diketuk Ketua MK Suhartoyo menjadi penegasan telak: pintu Istana tetap terbuka lebar bagi lulusan SMA.
Putusan ini tidak hanya menolak permohonan konsultan hukum Hanter Oriko Siregar dan mahasiswa Horison Sibarani, tetapi juga mengirimkan pesan keras tentang batasan antara yudikatif dan legislatif.

MK secara fundamental menolak gagasan untuk menjadi "super-legislator" yang mendikte kualifikasi pemimpin negara, sebuah domain yang mereka sebut sebagai milik mutlak politisi di Senayan.
Di jantung penolakan MK terdapat sebuah logika yang menohok: menaikkan standar pendidikan justru akan menjadi 'belenggu' yang membatasi hak konstitusional warga negara.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, dalam pertimbangannya, memaparkan bahwa Pasal 169 huruf r UU Pemilu yang ada saat ini bersifat inklusif.
Dengan menetapkan batas "paling rendah tamat SMA", undang-undang membuka kesempatan bagi semua jenjang pendidikan di atasnya.