Suara.com - Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mempersoalkan sejumlah pasal dalam draf revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP yang mengharuskan penyidik menyerahkan berkas perkara ke jaksa menuntut umum melalui penyidik kepolisian.
Adanya ketentuan tersebut dinilai berpotensi menghilangkan independensi KPK, sekaligus rawan manipulasi proses hukum.
Peneliti Indonesia Corruption Wathc atau ICW Wana Alamsyah, yang tergabung dalam koalisi memberikan penjelasan.
Pada Pasal 7 Ayat 3 dan 4 draf revisi KUHAP termuat ketentuan kewajiban Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penyidik tertentu untuk berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Pada Ayat 5, dibuat ketentuan pengecualian bagi KPK.
Namun celah problematik terlihat pada Pasal 8 Ayat 3, yang mengatur bahwa penyerahan berkas perkara ke penuntut umum (JPU) harus dilakukan melalui penyidik Polri, tanpa pengecualian untuk KPK.
"Ketiadaan klausul pengecualian ini menjadi sinyal serius adanya pergeseran arah politik hukum acara pidana yang tidak lagi menempatkan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang independen," kata Wana di Kantor ICW, Jakarta, Rabu (23/7/2025).
Padahal, katanya, prinsip independensi merupakan salah satu tulang punggung efektivitas kerja KPK yang selama ini memungkinkan penanganan perkara korupsi kelas tinggi atau high-profile cases) tanpa intervensi atau hambatan struktural dari lembaga lain.
Mereka menilai, Pasal 8 Ayat 3 membuka celah transaksional baru. Sebab, seluruh berkas perkara yang berasal dari penyidik tertentu, termasuk penyidik KPK harus terlebih dahulu diserahkan kepada penyidik Polri sebelum sampai ke tangan penuntut umum.
"Ini menciptakan dua masalah sekaligus, pertama, adanya potensi penghambatan administratif dalam jalur koordinasi yang tidak perlu. Dan kedua, kerawanan manipulasi proses hukum, termasuk kemungkinan intervensi dalam hal waktu, substansi, atau bahkan keputusan apakah perkara akan dilanjutkan ke penuntutan atau tidak," kata Wana.
Baca Juga: Anomali Hukum Kasus Gula Impor Tom Lembong, ICW Pertanyakan Kerugian yang Untungkan Kapitalis
Ketentuan itu juga sekaligus menghapus jalur langsung yang sebelumnya dimiliki KPK, dan mengubahnya menjadi jalur yang rentan terhadap praktik-praktik tidak profesional dan beraroma politis.
"Hal ini berpotensi dimanfaatkan oleh oknum untuk melakukan negosiasi di belakang layar, terutama pada perkara yang menyangkut elit politik atau pejabat tinggi negara," jelas Wana.