Suara.com - Krisis iklim di kota-kota besar bukan lagi soal masa depan. Ia hadir sekarang, menyentuh setiap lapisan masyarakat—terutama yang paling rentan.
Dalam forum Urban Climate Action Programme (UCAP) 2025, Wakil Gubernur Jakarta, Rano Karno, menegaskan bahwa upaya penanggulangan krisis iklim harus dilihat sebagai bagian dari strategi pembangunan sosial ekonomi yang adil dan menyeluruh.
"Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa kebijakan iklim juga menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan, memperkuat layanan dasar, dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok masyarakat rentan," kata Rano seperti dikutip dari ANTARA.
Menurutnya, aktivitas penduduk kota adalah penyumbang besar emisi, namun juga berpotensi menjadi motor perubahan.

Ia menyebut Jakarta telah mengambil langkah konkret seperti memperluas ruang terbuka hijau, menerapkan regulasi bangunan hijau, serta membangun sistem transportasi publik rendah emisi seperti MRT, LRT, dan Transjakarta.
Dalam skala regional, beberapa kota di Asia Tenggara juga menunjukkan komitmen serupa. Kuala Lumpur telah mengesahkan cetak biru masyarakat rendah karbon 2030, yang diharapkan menyumbang 70 persen mitigasi karbon kota itu.
Sementara Quezon City di Filipina tengah mengembangkan kerangka strategis untuk mencapai netralitas karbon dan membangun komunitas hijau.
Pertemuan UCAP-CAI ini disebut Rano sebagai momentum penting untuk memperkuat kerja kolektif antar kota ASEAN demi menghadapi dampak nyata krisis iklim yang semakin mendesak.
"Kita dipersatukan untuk meningkatkan kesadaran terkait krisis iklim, kenaikan permukaan air laut, gelombang panas ekstrem, dan ancaman terhadap kesehatan warga lokal atau warga kota. Ini bukanlah sekadar isu semata, melainkan kenyataan yang dihadapi saat ini," tegasnya.
Baca Juga: Banjir Saat Kemarau: Alarm Bahaya Krisis Iklim yang Tak Bisa Disepelekan