Suara.com - Di balik narasi "miskomunikasi" yang dilontarkan Wali Kota Padang Fadly Amran, tersembunyi sebuah pertanyaan yang lebih tajam dan mengganggu yakni apakah serangan brutal terhadap rumah doa di Padang Sarai adalah insiden spontan, atau hasil dari pembiaran dan kegagalan aparat lokal dalam mencegah konflik?
Kutipan dari saksi kunci, Pendeta F. Dachi, menyiratkan adanya kejanggalan yang tak bisa diabaikan. Ini bukan sekadar amuk massa biasa; ada pola yang perlu ditelisik lebih dalam.
Berikut 3 kejanggalan penyerangan rumah doa umat kristen di Padang ini:
1. Detik-Detik Kunci: Panggilan RT dan Lurah
Mari kita bedah kronologi yang paling krusial.
Pendeta Dachi mengatakan jika sebelum kejadian, telah datang bapak RT dan pak Lurah.
"Mereka memanggil saya dan membawa saya ke belakang. Salah satu diantara mereka menyatakan untuk bubarkan dan hentikan kegiatan. Lalu terjadilah insiden itu.” ujarnya.
Pernyataan ini membuka beberapa skenario yang perlu diinvestigasi oleh pihak kepolisian yakni upaya mediasi yang gagal total, apakah RT dan Lurah benar-benar berusaha menengahi, namun kalah jumlah dan pengaruh dari massa yang sudah terprovokasi?
Jika hal tersebut benar, mengapa tidak ada antisipasi atau permintaan bantuan keamanan sebelumnya?
Baca Juga: Wagub Vasko Ruseimy soal Perusakan Rumah Doa di Padang: Tidak Mencerminkan Nilai Minangkabau
Apakah ini hanya bentuk dari pengalihan perhatian?:
Apakah pemanggilan Pendeta Dachi ke belakang rumah merupakan sebuah taktik yang disengaja atau tidak yang justru memberi ruang bagi massa untuk mulai menyerang tanpa ada figur pemimpin jemaat di lokasi?
"bubarkan dan hentikan kegiatan" yang menurut pendeta diucapkan oleh salah satu dari mereka, mengindikasikan adanya tekanan dari bukan lagi sebagai mediator netral.
Narasi "miskomunikasi" menjadi terlalu sederhana untuk menjelaskan serangan terorganisir yang menggunakan kayu dan batu.
Miskomunikasi diselesaikan dengan dialog, bukan dengan pemukulan terhadap anak-anak.
2. Gagalnya Deteksi Dini dan Sistem Peringatan
Penyerangan massa tidak terjadi dalam semalam. Pasti ada riak-riak sebelumnya: rapat warga, obrolan di grup WhatsApp, atau provokasi dari oknum tertentu.
Di sinilah peran intelijen dasar dari aparat terdepan seperti RT, RW, Babinsa, dan Bhabinkamtibmas dipertanyakan.
Wakapolda Sumbar, Brigjen Pol Solihin, menyatakan sembilan orang telah diamankan.
Ini adalah langkah hukum yang patut diapresiasi. Namun, penegakan hukum tidak boleh berhenti pada pelaku lapangan.
Otak di balik penyerangan, provokator, dan siapa pun yang melakukan pembiaran hingga kekerasan ini terjadi, harus ikut dimintai pertanggungjawaban.
Permintaan maaf dari Wali Kota Padang adalah langkah awal yang baik, namun harus diikuti dengan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja aparat di tingkat bawah.
3. Apa hanya pembenar?
Tanpa itu, "miskomunikasi" hanya akan menjadi kata pembenar yang nyaman untuk menutupi kegagalan sistemik.
Menurut Anda, sejauh mana tanggung jawab aparat lokal dalam insiden ini?
Apakah label "miskomunikasi" cukup, atau kita perlu menuntut akuntabilitas yang lebih serius?
Mari diskusikan secara kritis di kolom komentar.