SBY: AI, Disinformasi, dan Krisis Iklim Ancam Peradaban

Rabu, 30 Juli 2025 | 18:26 WIB
SBY: AI, Disinformasi, dan Krisis Iklim Ancam Peradaban
Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. [Kontributor Suarajogja.id/Putu Ayu Palupi]

Suara.com - Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengajak para pemimpin dunia untuk mengedepankan kebijaksanaan dan tanggung jawab moral dalam menggunakan kekuasaan, mengingat dampaknya yang sangat besar terhadap keberlangsungan peradaban.

Pernyataan itu disampaikan SBY saat menyampaikan refleksi pemikirannya tentang dinamika kekuasaan dalam sejarah dan masa depan umat manusia.

Ia merujuk pada pemikiran klasik sejarawan Inggris, Lord Acton, yang menekankan bahaya kekuasaan yang tak terkendali.

"Jangan bermain-main dengan kekuasaan. Jangan menyalahgunakan kekuasaan, ingat, power tends to corrupt. Absolute power tends to corrupt absolutely," tegas SBY saat berbicara di Menara Bank Mega, Rabu (30/7/2025).

Menurutnya, tantangan kepemimpinan saat ini bukan hanya soal membuat keputusan politik atau ekonomi, tetapi juga menghadapi risiko baru peradaban yang belum pernah dihadapi sebelumnya.

Ia merujuk pada karya Yuval Noah Harari yang menjabarkan ancaman-ancaman tersebut.

"Yuval Harari dalam Homo Deus dan 21st Lesson for the 21st Century mengatakan bahwa peradaban modern menghadapi risiko baru yang belum pernah dihadapi sebelumnya," ujarnya.

Ia menyebut bahwa kini permasalahan global semakin kompleks dan mendesak untuk dibahas secara serius di tingkat kepemimpinan.

Mulai dari teknologi canggih hingga perubahan iklim, semuanya dapat mempercepat keruntuhan jika tidak dikelola dengan bijak.

Baca Juga: SBY Sentil Pemimpin: Jangan Main-Main dengan Kekuasaan, Negara Bisa Hancur

"Sangat fundamental, terjadi di seluruh belahan dunia. Ini tentu mengingatkan para pemimpin dunia, baik pemimpin politik, pemimpin bisnis maupun pemimpin apapun," ujar SBY.

Lebih jauh, ia menyinggung kemunculan teknologi mutakhir dan ancaman senjata non-konvensional yang berpotensi mengubah arah sejarah manusia.

"Apa itu? Hadirnya kecerdasan buatan, disinformasi digital, dan ancaman seperti krisis iklim dan senjata biologis. Harari mengatakan, saya kutip, 'We are now powerful enough to destroy our entire civilization, but not wise enough to control our own powers.' It is about power, how to use of power, and how to control the powers (Kita kini cukup kuat untuk menghancurkan seluruh peradaban kita, namun tidak cukup bijak untuk mengendalikan kekuatan kita sendiri)," jelasnya.

SBY juga mengingatkan pentingnya belajar dari sejarah, terutama masa-masa kelam ketika kekuasaan absolut membawa kehancuran.

Ia menyitir karya George Orwell sebagai refleksi dari bahaya penyalahgunaan kekuasaan oleh negara.

"Kita menyaksikan langsung bagaimana kegagalan tersebut menghadirkan kehancuran nyata atas sebuah peradaban. Georges Orwell, seorang Sastrawan Inggris, mengingatkan kita, 'To walk through the ruined cities of Germany is to feel an actual doubt about the continuity of civilization'. (Berjalan melintasi kota-kota Jerman yang hancur adalah merasakan keraguan nyata akan keberlangsungan peradaban)," bebernya.

Ia menjelaskan bahwa pengalaman Orwell tersebut bukan rekaan, melainkan kesaksian langsung atas kehancuran pasca-Perang Dunia II.

"Ungkapan itu tentu berangkat dari memori buruk ketika yang bersangkutan menyaksikan puing-puing kehancuran di akhir Perang Dunia Kedua di Jerman. Begitu kesimpulannya, kalau kita menyaksikan dan menjelajahi kehancuran dan penderitaan manusia yang sangat ekstrim," ungkap SBY.

Mengutip sejarah revolusi di Prancis, SBY menyebut pemimpin-pemimpin seperti Louis XIV dan Louis XVI yang menempatkan diri di atas hukum, menjadi contoh nyata kegagalan yang harus dihindari oleh pemimpin masa kini.

"Bahkan dikatakan 'L'état c'est moi', negara adalah saya, hukum adalah saya, konstitusi adalah saya, keadilan adalah saya, suara rakyat adalah saya, jangan-jangan mengatakan Tuhan adalah saya. Ini yang sejarah melakukan koreksi terus-menerus dan terjadi di banyak belahan bumi,” bebernya.

Penutup refleksi SBY pun menekankan pentingnya berpikir strategis dan humanis dalam pengambilan keputusan pemimpin.

Ia mengutip pesan moral dari Gene Roddenberry yang menegaskan bahwa kekuatan sejati suatu bangsa terletak pada kemampuannya menjaga perdamaian.

"The strength of a civilization is not measured by its ability to fight wars, but rather by its ability to prevent them," kutipnya.

Dengan segala tantangan global yang ada, SBY berharap pemimpin masa kini tidak hanya menjadi pengambil kebijakan, tetapi juga pembawa nilai-nilai kemanusiaan dan penjaga peradaban.

"Deep thinking, melihat lebih jauh, dan bertindak lebih bijak. Kita memerlukan cara berpikir yang lebih beradab, more civilized, lebih berakar dalam sejarah. Tetapi juga berani memproyeksikan masa depan," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI