Suara.com - Sebuah peringatan keras datang dari gabungan organisasi masyarakat sipil terhadap wacana pemberian hak istimewa berupa amnesti untuk Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong.
Langkah ini dinilai bukan murni soal hukum, melainkan sebuah manuver kebijakan politis yang bisa merusak tatanan penegakan hukum di Indonesia.
Koalisi yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia (TII), dan IM57+ Institute secara tegas menyatakan bahwa penyelesaian perkara pidana korupsi melalui 'jalur lobi' politik.
Tentunya kata mereka hal ini akan menciptakan preseden yang sangat destruktif. Koalisi sipil juga menyebut bahwa ini adalah alarm bahaya bagi masa depan pemberantasan korupsi di tanah air.
Kritik paling fundamental yang dilayangkan koalisi adalah fakta bahwa proses hukum kedua tokoh tersebut masih berjalan dan belum final.
Inkracht berarti putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap karena tidak ada lagi upaya hukum yang bisa ditempuh oleh terdakwa maupun jaksa.
![Hasto dan Megawati. [Ist]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/07/27/53606-hasto-dan-megawati-ist.jpg)
Faktanya, kondisi Hasto dan Tom Lembong masih jauh dari status tersebut.
Diketahui, Hasto Kristiyanto divonis 3 tahun 6 bulan penjara dalam kasus suap, saat ini tengah menempuh proses banding.
Sementara Tom Lembong divonis 4 tahun 6 bulan penjara dalam kasus impor gula, juga sedang dalam proses banding.
Baca Juga: Klaim Berkas Sudah Rampung, Kuasa Hukum Sebut Sebelum Jam 8 Tom Lembong Sudah Bisa Keluar Penjara
Hal tersebut memberikan hak istimewa di tengah proses hukum yang masih berjalan adalah sebuah loncatan yang dianggap menabrak prinsip dasar negara hukum.
"Pemberian abolisi dan amnesti terhadap terdakwa yang kasusnya belum inkracht adalah bentuk intervensi politik penegakan hukum antikorupsi dan mencederai prinsip checks and balances," kata Peneliti ICW Almas Sjafrina, Jumat (1/8/2025).
Menurut koalisi sipil, ketika cabang eksekutif pemerintah atau Presiden 'cawe-cawe' dalam proses yudikatif yang sedang berjalan, maka independensi lembaga peradilan secara langsung terancam.
Hakim dan jaksa yang sedang bekerja untuk membuktikan sebuah perkara di persidangan bisa kehilangan otonominya.
Intervensi ini dinilai berbahaya karena dapat menghentikan proses pengungkapan kebenaran materiel di pengadilan.
"Intervensi tersebut juga berdampak negatif terhadap pengungkapan kasus yang belum final terbukti di persidangan. Padahal, pembuktian dalam persidangan diperlukan untuk melihat terbukti atau tidaknya perbuatan terdakwa," ujar Almas.