Suara.com - Bagi banyak anak muda dan pegiat startup, nama Gibran Huzaifah sebelumnya adalah ikon keberhasilan.
Namun, penahanannya oleh Bareskrim Polri pada akhir Juli 2025 atas dugaan manipulasi laporan keuangan dan penipuan senilai miliaran rupiah telah meruntuhkan narasi indah tersebut serta meninggalkan kisah tragis.
Jauh sebelum nama eFishery menggema di panggung global, Gibran Huzaifah hanyalah seorang mahasiswa di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (ITB).
Lahir dari keluarga sederhana, ia harus memutar otak untuk membiayai kuliahnya.
Ia tak malu melakoni berbagai pekerjaan, mulai dari berjualan donat hingga menjadi peternak lele di pekarangan rumahnya.
Justru dari kolam lele itulah, sebuah ide brilian lahir.
Gibran merasakan langsung betapa mahalnya harga pakan dan sulitnya mengelola pemberian pakan secara efisien.
Ia melihat masalah nyata yang dihadapi jutaan peternak ikan di seluruh Indonesia.
Pada 2013, bersama rekannya, ia mendirikan eFishery dengan sebuah visi yakni memecahkan masalah pangan melalui teknologi.
Baca Juga: Gibran Bukan 'Anak Emas', Jokowi Siapkan Kaesang di Pilpres 2034, Disarankan Kejar Ijazah S2
Inovasi pertamanya, eFisheryFeeder, sebuah alat pemberi pakan otomatis yang terhubung ke internet, menjadi jawaban atas keresahannya.
Dari sebuah garasi, eFishery melesat.
Gibran, dengan kemampuannya bercerita yang memukau dan visi yang kuat, menjadi wajah dari revolusi "fishtech" di Indonesia.
Ia kerap tampil di berbagai seminar, berbagi panggung dengan para menteri dan CEO kelas dunia.
Kutipan-kutipannya menjadi mantra bagi para calon entrepreneur.
Dalam sebuah wawancara, ia pernah berkata, "Teknologi adalah alat. Tujuan utamanya adalah memberdayakan manusia, dalam kasus kami, para peternak ikan yang selama ini terpinggirkan," ujarnya.
Jejak Bisnis
Jejak bisnis dimulai pada 2017, namanya masuk dalam daftar bergengsi Forbes 30 Under 30 Asia, sebuah pengakuan internasional atas potensinya.
Lalu pada 2023: eFishery resmi menyandang status Unicorn setelah meraih pendanaan Seri D sebesar US$200 juta atau sekitar Rp3 triliun dari raksasa investasi seperti Temasek dan SoftBank.
Gibran telah mencapai Olympus-nya dunia startup. Ia bukan lagi sekadar peternak lele; ia adalah seorang teknopreneur visioner yang dielu-elukan.
Jebakan Kultur "Growth at All Costs"
Namun, di balik angka-angka valuasi yang fantastis, tekanan untuk terus tumbuh disinyalir menjadi pedang bermata dua.
Dalam dunia startup yang didanai investor, metrik pertumbuhan adalah raja.
Tekanan untuk menunjukkan grafik yang terus menanjak dari kuartal ke kuartal bisa menjadi sangat besar.
Di sinilah para analis melihat Gibran dan manajemennya mungkin terperosok ke dalam kultur berbahaya: "Growth at All Costs" atau diartikan falsafah bertumbuh dengan cara apapun.
Sebuah budaya di mana target pertumbuhan yang agresif lebih diutamakan daripada fundamental bisnis yang sehat, etika, dan transparansi.
Obsesi terhadap valuasi dan citra kesuksesan inilah yang diduga mendorong mereka untuk "memoles" laporan keuangan.
Tujuannya guna memuaskan investor lama dan menarik investor baru dengan angka-angka yang memukau, meskipun angka tersebut tak lagi berpijak pada realita.
Kecurigaan para investor akhirnya memicu investigasi internal pada akhir 2024.
Hasilnya adalah sebuah "palu godam" yang menghancurkan citra sempurna eFishery.
Ditemukan adanya dugaan manipulasi laporan keuangan yang masif, penggelembungan pendapatan hingga Rp9,7 triliun, dan klaim laba padahal perusahaan merugi.
Direktur Tipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Pol Helfi Assegaf, mengonfirmasi bahwa penipuan ini dilakukan secara sistematis.
"Ketiganya berkolaborasi, bersama-sama melakukan penipuan dan penggelapan terhadap proses investasi pada PT e-Fishery dengan melakukan mark up investasi tersebut,"
Gibran, sang ikon, bersama dua petinggi lainnya, kini harus menghadapi kenyataan pahit di balik jeruji besi.
Ia yang dulu menginspirasi ribuan orang untuk membangun mimpi, kini menjadi studi kasus tragis tentang bagaimana sebuah mimpi bisa berubah menjadi mimpi buruk ketika integritas dikesampingkan.
Kisah Gibran adalah cermin retak bagi dunia startup yang seringkali terlalu silau dengan valuasi dan status.
Ini adalah pengingat yang menyakitkan bahwa di atas segala pertumbuhan dan pendanaan, fondasi utama dari sebuah bisnis yang hebat adalah kejujuran.
Apa pendapat Anda tentang fenomena "growth at all costs" di dunia startup?
Apakah tekanan dari investor menjadi pembenaran untuk menghalalkan segala cara?
Bagikan pandangan Anda di kolom komentar.