Bendera One Piece di Hari Kemerdekaan: Antara Aksi Kreatif dan Tuduhan Makar

Andi Ahmad S Suara.Com
Rabu, 06 Agustus 2025 | 23:21 WIB
Bendera One Piece di Hari Kemerdekaan: Antara Aksi Kreatif dan Tuduhan Makar
Bendera 'Jolly Roger' dari kelompok bajak laut Topi Jerami dalam anime One Piece.[Egi/Suarabogor]

Suara.com - Pemandangan tak biasa mewarnai perayaan Hari Kemerdekaan ke-80 RI tahun ini. Di berbagai daerah, bendera Merah Putih berkibar berdampingan dengan bendera tengkorak bertopi jerami simbol kelompok bajak laut Topi Jerami dari anime populer, One Piece.

Fenomena ini sontak membelah opini publik dan, yang lebih krusial, memicu respons yang saling bertolak belakang dari para kepala daerah.

Sebagian menyambutnya sebagai ekspresi kreatif generasi muda, sementara sebagian lainnya bereaksi keras dengan menudingnya sebagai tindakan makar, yang berujung pada penurunan paksa bendera dan penghapusan mural.

Perdebatan ini pun menjadi cermin carut-marutnya pemahaman tentang nasionalisme dan kebebasan berekspresi di era digital.

Blok Soloraya Beri Lampu Hijau, Dianggap 'Keren'

Uniknya, respons paling positif justru datang dari tiga kepala daerah di Soloraya yang kerap diasosiasikan sebagai 'orang dekat' Presiden Jokowi. Mereka melihat fenomena ini dari kacamata yang lebih luwes.

Wali Kota Solo, Respati Ardi Menanggapi viralnya atribut One Piece, ia dengan santai menyebut bahwa fenomena itu keren.

Bupati Sragen, Sigit Pamungkas bahkan memberikan dukungan langsung setelah sebuah mural One Piece di Dukuh Ndayu, Karangmalang, dihapus paksa.

Baginya, para kreator mural tersebut adalah warga negara yang sama-sama mencintai Indonesia.

Baca Juga: Kalahkan One Piece, Ibu Ini Viral Pasang Bendera Inggris Sambut Kemerdekaan RI

Sementara Bupati Boyolali, Agus Irawan, dia lebih moderat. Ia tidak melarang, namun tetap mengimbau warganya untuk memprioritaskan pengibaran bendera Merah Putih.

Mural One Piece di persimpangan jalan kampung tepatnya di depan sebuah pos ronda RT 04 RW 22 Pedukuhan Temuwuh, Balecatur, Gamping, Sleman, Rabu (6/8/2025). [Hiskia/Suarajogja]
Mural One Piece di persimpangan jalan kampung tepatnya di depan sebuah pos ronda RT 04 RW 22 Pedukuhan Temuwuh, Balecatur, Gamping, Sleman, Rabu (6/8/2025). [Hiskia/Suarajogja]

Sikap permisif di Soloraya berbanding terbalik 180 derajat dengan beberapa daerah lain. Di sana, bendera tengkorak bertopi jerami dianggap sebagai ancaman. Aparat setempat tak segan-segan melakukan penurunan paksa bendera dan menghapus mural bertema One Piece.

Puncaknya adalah munculnya tudingan serius bahwa pengibaran bendera tersebut adalah bentuk makar atau upaya pemberontakan terhadap negara.

Melihat respons pemerintah yang terbelah, Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Sri Hastjarjo, angkat bicara. Menurutnya, masalah utama adalah tidak sinkronnya pemahaman di level pemerintah itu sendiri.

"Kalau antar pemerintah saja baik pusat atau daerah persepsinya belum sama, apalagi masyarakat umum," ujarnya saat dihubungi, Rabu (6/8/2025).

Hastjarjo secara tegas mengkritik reaksi berlebihan dari sebagian pemda. Berikut adalah poin-poin penting dari analisisnya:

Tuduhan Makar Tidak Berdasar: "Inikan nggak sampai ke situ. Jadi kalau itu disebut makar kebangetan dan kebablasan lah, makar itu sesuatu yang sangat serius," tegasnya.

Ia menjelaskan bahwa makar adalah niat serius untuk mengganti negara, bukan sekadar ekspresi pop culture.

Bentuk Kebebasan Berekspresi: Menurutnya, aksi ini adalah bentuk ekspresi yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28. Akarnya bukan niat memberontak, melainkan ketidaktahuan mengenai aturan penggunaan simbol negara.

Kaitan dengan Jokowi Tidak Relevan: Hastjarjo juga menepis anggapan bahwa sikap positif kepala daerah Soloraya ada kaitannya dengan kedekatan mereka dengan Jokowi.

"Halah nggak juga. Itu kebablasan juga, mungkin tidak tahu aturannya, mungkin cara pandangnya ini tidak berbahaya," ungkapnya.

Menurut Hastjarjo, langkah represif seperti penurunan paksa dan penghapusan mural adalah tindakan "over acting" yang justru kontraproduktif. Ia menekankan bahwa solusi yang paling tepat adalah edukasi.

"Tidak bisa kemudian serta merta langsung sekedar melarang tanpa mengedukasi. Menurut saya langkah pertama mesti mengedukasi atau sosialisasi dulu, karena tidak semua orang tahu sehingga jangan terlalu cepat menuduh itu makar," jelasnya.

Edukasi ini, lanjutnya, harus menyasar dua pihak masyarakat umum agar paham aturan main simbol negara, dan para pejabat pemerintah daerah itu sendiri agar tidak salah menafsirkan dan bereaksi berlebihan.

"Edukasi tidak hanya kepada masyarakat tapi pemerintah daerah. Sehingga jelas regulasinya seperti apa, tidak asal tuduh, tidak asal ditafsirkan macam-macam," tandasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI