Suara.com - Bupati Pati, Sudewo, menjadi sorotan tajam publik setelah dua video pernyataannya terkait kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) viral di media sosial.
Video pertama kali muncul memicu kemarahan karena dinilai menantang rakyat, sementara video kedua berisi klarifikasi yang berusaha meredam gejolak.
Namun, nasi telah menjadi bubur, emosi warga terlanjur tersulut oleh kebijakan dan cara komunikasi yang dinilai kurang empatik.
Polemik ini bermula dari potongan video yang menyebar luas, di mana Sudewo tampak mengeluarkan pernyataan tegas.
Banyak warga menginterpretasikan ucapan tersebut sebagai sebuah tantangan terbuka terhadap rencana demonstrasi besar-besaran yang akan dilakukan oleh masyarakat yang menolak kenaikan PBB-P2 sebesar 250 persen pada September 2025 mendatang.
Dalam video yang beredar, terdengar narasi bahwa ia tak gentar dengan ancaman ribuan massa.
Kalimat inilah yang menyulut persepsi bahwa pemerintah daerah bersikap arogan dan tidak mau mendengar aspirasi warganya.
Menyadari pernyataannya menuai badai kritik, Sudewo pun segera membuat klarifikasi saat dimintai keterangan wartawan.
Mengutip dari Instagram @kudusnesia.media, Kamis (7/8/2025), dalam penjelasannya, ia meluruskan bahwa pernyataannya disalahartikan.
Baca Juga: Respons Mendagri Soal Kebijakan Bupati Pati Naikkan PBB 250 Persen: Saya Perintahkan Dirjen Cek
Ia menegaskan tidak pernah berniat menantang masyarakat Pati. Menurutnya, kalimat tegas itu memberikan keleluasaan untuk warga mengeluarkan aspirasinya.
"Saya tidak ada niat sedikitpun untuk menantang masyarakat saya sendiri. Mosok yo saya menantang rakyat saya?" ujar Sudewo.
Ia menambahkan bahwa untuk kebijakan menaikkan PBB-P2 hingga 250 persen sudah bulat. Hal itu tidak lain untuk melanjutkan pembangunan Pati yang lebih baik ke depan.
Meskipun demikian, klarifikasi tersebut tidak serta-merta menghentikan perdebatan. Warganet dan masyarakat yang sudah terlanjur kecewa tetap membandingkan dua video tersebut, menganggap klarifikasi sebagai langkah reaktif setelah timbulnya gejolak.
Di balik drama komunikasi publik ini, akar masalah sesungguhnya terletak pada kebijakan kenaikan PBB-P2 yang dianggap mencekik.
Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Pati Nomor 2 Tahun 2024, pemerintah menaikkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai dasar pengenaan PBB.
Kenaikan ini bervariasi, namun di beberapa wilayah dilaporkan mencapai 250 persen.
Bagi masyarakat, lonjakan drastis ini merupakan beban berat di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
Perlunya Sosialisasi Sebelum Ketok Palu
Lantas, apa yang seharusnya dilakukan Pemkab Pati untuk menghindari gesekan emosional ini?
Pertama, sosialisasi yang masif dan humanis mutlak diperlukan sebelum kebijakan diterapkan.
Sosialisasi bukan hanya sekadar pengumuman di situs resmi, melainkan dialog langsung yang menyentuh semua lapisan masyarakat, dari tingkat RT/RW hingga kecamatan.
Pemerintah perlu menjelaskan secara transparan urgensi kenaikan pajak, alokasi dana hasil pajak untuk pembangunan, dan dampaknya bagi warga.
Kedua, membuka ruang dialog partisipatif. Pemerintah seharusnya tidak memposisikan diri sebagai penentu kebijakan yang absolut.
Mengundang perwakilan warga, tokoh masyarakat, akademisi, dan pelaku usaha untuk duduk bersama merumuskan formula kenaikan yang lebih berkeadilan bisa menjadi solusi.
Mungkin kenaikan tidak perlu dilakukan secara drastis dalam satu tahun, melainkan secara bertahap dalam beberapa tahun anggaran.
Ketiga, pejabat publik harus menunjukkan empati dalam setiap narasi yang dibangun.
Di era digital, setiap perkataan dapat dengan mudah direkam, dipotong, dan disebarkan. Oleh karena itu, pemilihan diksi yang hati-hati, bahasa tubuh yang merangkul, dan nada bicara yang menenangkan jauh lebih efektif daripada sikap konfrontatif.
Kasus di Pati menjadi pelajaran berharga bahwa kebijakan yang baik sekalipun dapat gagal total jika salah dalam cara penyampaiannya.