Era Sunyi di Kafe? Aturan Royalti Ancam Playlist Andalan Pengusaha

Kamis, 07 Agustus 2025 | 18:16 WIB
Era Sunyi di Kafe? Aturan Royalti Ancam Playlist Andalan Pengusaha
Ilustrasi royalti musik (pexels)

Suara.com - Suasana nyaman di kafe atau restoran langganan Anda mungkin akan segera berubah menjadi lebih hening.

Akar masalahnya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021, yang mewajibkan pembayaran royalti untuk setiap pemutaran lagu yang digunakan untuk kepentingan komersial.

Bagi para pengusaha, terutama di bidang kuliner, musik bukanlah sekadar hiasan, melainkan elemen strategis untuk menarik dan mempertahankan pelanggan.

Kini, strategi itu datang dengan biaya tambahan yang menimbulkan kekhawatiran.

Bahkan, diskusi mengenai aturan ini meluas hingga mencakup pemutaran suara alam seperti rekaman kicau burung yang juga disebut-sebut dapat dikenakan kewajiban serupa.

Akibatnya, para pemilik usaha kini berada di persimpangan jalan: menanggung biaya tambahan untuk royalti, susah payah mencari musik bebas lisensi, atau mengambil risiko kehilangan daya tarik dengan membiarkan ruang usaha mereka senyap.

Salah satu pemilik café di Nostalgic di Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Hj. Ridha Andi Patiroi mengatakan meski sudah ada aturan tersebut ia masih tetap memutar lagu-lagu Indonesia.

Karena playlist tersebut juga sangat membantu meningkatkan jumlah pengunjung.

Pengunjung di salah satu cafe di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat [Suara.com/Buniamin]
Pengunjung di salah satu cafe di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat [Suara.com/Buniamin]

“Kalau soal pemutaran lagu-lagu masih sama sampai hari ini. Kita putar play list yang sudah ada,” katanya Rabu (6/8/2025) pagi.

Baca Juga: Anji Manji Luruskan Masalah Royalti Musik: Semua Gara-gara Ahmad Dhani

Tidak hanya café yang dikelola, pemutaran juga Indonesia juga masih dilakukan di sejumlah tempat nongkrong lainnya di Kota Mataram.

Apalagi saat ini, usaha café atau tempat nongkrong sedang menggeliat di Kota Mataram.

“Café-café yang lain di Kota Mataram yang masih memutar lagu-lagu Indonesia,” katanya.

Di kota-kota besar lainnya, sudah mulai tidak memutar lagu karena takut dimintakan royati.

Bahkan beberapa menggantinya dengan suara alam seperti suara burung dan lainnya.

Namun kembali ada aturan baru, dimana suara burung juga aka dikenakan royalty.

“Mereka kan takut putar lagu karena takut dikenakan royalty,” katanya.

Diakuinya, aturan pengaturan royalty ini belum diketahui secara pasti.

Ketidaktahuan ini menjadi salah satunya alasan masih tetap memutar lagu-lagu tersebut.

“Nanti kalau tahu aturannya ya pasti kita akan ikut pada aturan yang ada,” tegasnya.

Ia mengharapkan ada sosialisasi terkait aturan tersebut dari lembaga yang memang memiliki kewenangan.

Karena dirinya juga khawatir, jika tiba-tiba ada royalty yang harus dibayar.

“Kan takutnya juga tiba-tiba ada royalty yang harus dibayar,” katanya.

Aturan ini sambungnya dinilai cukup merugikan usaha miliknya.

Karena para pelanggan datang tidak hanya nyaman dan suka tempatnya, melainkan juga karena suka dengan playlist music-musik yang diputar.

“Ini nantinya bisa mengubah pasar juga. Kalau café saya kan lebih ke familiy dan anak-anak duduk ngopi dan makan sekalian dengar playlist yang kami putar,” ungkap Hj. Ridha.

Sementara untuk mengalihkan ke suara burung atau suara alam lainnya, sejauh ini belum terpikirkan.

Tapi dengan adanya aturan ini, akan dipikirkan kearah tersebut.

“Belum terpikirkan, tapi bisa jadi nanti kea rah sana,” katanya.

Menurutnya, playlist yang diputar di café-café ada keuntungan kepada pemilik atau pencipta lagu.

Pasalnya, dengan pemutaran lagu ini bisa menjadi ajang untuk mempromosikan lagu ciptaannya.

“Harusnya mereka juga senang. Kan tidak perlu repot-repot promo. Karena kita bantu promosi gratis,” katanya.

Peluang Musisi Lokal 

Sementara itu, salah seorang pengunjung Adi mengatakan aturan royalti yang dikenakan ini menjadi peluang bagi musisi lokal.

Artinya, pemutaran lagu di cafe yang sebelumnya dari musisi nasional bisa beralih ke lokal atau daerah.

"Itu peluang bagi musisi lokal. Banyak musisi lokal yang terkenal dan bisa perkenalkan lagi lagu-lagunya," katanya.

Jika lagu-lagu daerah terbatas, maka bisa mencari alternatif lain yaitu dari musisi yang tidak menarik royalti.

"Kalau kendalanya ke musik daerah terbatas ya cari yang tidak ada royalti," ungkapnya.

Kunjungan ke cafe sambung Adi karena makanan dan tempatnya. Namun playlist musik di cafe itu juga menjadi salah satu pilihan.

"Yang jadi pilihan juga itu ada playlist musiknya. Musik-musik buat nyaman," tutupnya.

Kontributor : Buniamin 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI