Pilkada Kembali ke DPRD Bisa Berantas Korupsi? ICW: Itu Cuma Memindahkan 'Ruang Gelap'

Selasa, 12 Agustus 2025 | 11:37 WIB
Pilkada Kembali ke DPRD Bisa Berantas Korupsi? ICW: Itu Cuma Memindahkan 'Ruang Gelap'
Ilustrasi Pilkada. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) dialihkan ke Gedung DPRD disebut memiliki potensi menciptakan korupsi baru di gedung dewan. [Dok. Istimewa]

Suara.com - Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke tangan DPRD dinilai Indonesia Corruption Watch (ICW) berpotensi membuka ruang baru transaksi koruptif yang lebih sulit diawasi publik.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Yassar Aulia, menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah atau Pilkada oleh DPRD bukan solusi untuk mengatasi korupsi di sektor politik.

Menurutnya, mengubah mekanisme Pilkada dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi melalui DPRD justru akan menggerus hak demokrasi masyarakat tanpa menyentuh akar persoalan.

"Pilkada oleh DPR justru tidak menjawab akar permasalahan korupsi politik itu sendiri," kata Yassar dalam diskusi 'Dari Pembiayaan Partai hingga Kampanye Pemilu: Segudang PR Pembenahan Korupsi Politik' yang digelar ICW, Senin (11/8/2025).

Yassar menjelaskan bahwa tingginya biaya politik saat Pilkada tidak hanya digunakan untuk mendanai kampanye yang terlihat di permukaan, tetapi juga mengalir deras pada masa periode pencalonan yang marak menciptakan 'ruang gelap' transaksi tersembunyi.

"Seperti bicara soal mahar politik itu kan juga aspek-aspek yang membuat politik menjadi mahal tapi tidak bisa nampak ke permukaan," kata Yassar.

Alih-alih menekan biaya politik, Yassar berpendapat bahwa peralihan mekanisme pemilihan ke DPRD justru hanya akan membuka 'ruang gelap' baru yang lebih tersembunyi, khususnya di internal partai politik.

Kondisi ini akan membuat proses seleksi kandidat semakin jauh dari pengawasan publik.

"Makanya justru ruang bermain dalam tanda kutip bagi internal partai untuk bisa melakukan preferensi bagi kandidat-kandidat yang mungkin bukan berdasarkan meritokrasi atau proses kaderisasi," ujarnya.

Baca Juga: Kepala Daerah Dipilih DPRD, Wamendagri Singgung Wacana PIikada Langsung Dihapuskan

"Bahkan menggunakan mahar politik itu bisa menjadi semakin menguat trend-nya, dan bahkan tidak bisa terpantau oleh publik," sambungnya.

Sebelumnya diberitakan, Anggota DPR RI dari Fraksi Golkar, Zulfikar Arse Sadikin mengusulkan belanja kampanye peserta pemilihan umum atau Pemilu dibatasi. 

Menurutnya dengan membatasi atau menetapkan batas maksimum biaya kampanye, menjadi salah satu upaya untuk mengatasi tingginya biaya yang dikeluarkan masing-masing kandidat. 

"Kita mungkin ke depan berpikir juga harus membatasi yaitu spending (biaya kampanye). Selama ini kita kan enggak pernah membatasi spending, (3:34) yang selama ini kita batasi itu penerimaan (dana kampanye)," kata Zulfikar dikutip Suara.com, Senin (11/8/2025). 

Dia mengungkapkan membatasi biaya pemilu harus mulai dipertimbangkan.

Sebab, sebagaimana diketahui, masih maraknya korupsi di sektor politik disebabkan tingginya biaya kampanye yang harus dikeluarkan peserta Pemilu. 

Sehingga ketika menjabat, berbagai cara dilakukan untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan, termasuk melakukan tindak pidana korupsi. 

"Mungkin teman-teman ICW, dan Puskapol UI  perlulah menghitung,  biaya yang rasional itu berapa sih, untuk kabupaten, kota, untuk provinsi,  untuk pusat berapa?" kata Zulfikar. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI