Ironi Jelang HUT RI ke-80: Rumah Doa di Garut Disegel, Negara Didesak Jamin Kebebasan Beragama

Jum'at, 15 Agustus 2025 | 18:33 WIB
Ironi Jelang HUT RI ke-80: Rumah Doa di Garut Disegel, Negara Didesak Jamin Kebebasan Beragama
Ilustrasi rumah ibadah untuk tempat berdoa umat kristiani. (Pixabay)

Suara.com - Sebuah rumah doa yang telah puluhan tahun digunakan oleh jemaat Kristiani di Desa Purbayani, Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut, disegel oleh pemerintah daerah pada 2 Agustus 2025.

Alasan resmi yang dikemukakan adalah ketiadaan izin mendirikan bangunan (IMB) sebagai tempat ibadah.

Pihak pemerintah setempat menyatakan bahwa tindakan ini merupakan penegakan aturan dan memberi syarat bahwa rumah doa dapat kembali beroperasi jika telah menempuh proses perizinan sesuai perundang-undangan yang berlaku.

Selain penyegelan, pengelola juga diminta menandatangani surat persetujuan penghentian kegiatan di lokasi tersebut.

Peristiwa ini sontak menjadi sorotan nasional, terutama karena terjadi hanya beberapa pekan menjelang perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia.

Banyak pihak menilai insiden ini sebagai cerminan bahwa kemerdekaan untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing belum sepenuhnya dirasakan oleh seluruh warga negara.

Regulasi Pendirian Tempat Ibadah sebagai Akar Masalah

Di balik kasus penyegelan di Garut, terdapat isu regulasi yang lebih kompleks dan telah lama menjadi perdebatan.

Aturan utama yang menjadi rujukan adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (PBM 2006).

Baca Juga: Parah! Beras Bansos Warga Miskin Garut Dikorupsi, Takaran Dikurangi, Jatah 10 Kg Jadi 7,5 Kg

Secara garis besar, PBM 2006 mensyaratkan dua kondisi utama untuk pendirian rumah ibadah:

Daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat.

Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.

Syarat inilah yang seringkali menjadi batu sandungan bagi kelompok agama minoritas di banyak daerah.

Mendapatkan 60 tanda tangan dari warga sekitar yang berbeda keyakinan seringkali menjadi tantangan yang sulit dipenuhi, membuka celah bagi penolakan yang berujung pada konflik dan hambatan perizinan.

Meskipun bertujuan untuk menjaga kerukunan, banyak aktivis hak asasi manusia dan organisasi lintas iman menilai PBM 2006 justru menjadi alat diskriminasi dan membatasi hak konstitusional warga negara untuk beribadah.

Suara Kritis dari Jaringan GUSDURian

Alissa Wahid. [instagram]
Alissa Wahid. [instagram]

Menanggapi peristiwa di Garut, Jaringan GUSDURian, sebuah organisasi yang terinspirasi dari perjuangan pluralisme Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mengeluarkan pernyataan sikap yang keras.

Direktur Jaringan GUSDURian, Alissa Wahid, menyayangkan peran negara yang seharusnya mengayomi justru menjadi pelaku.

"Mengecam Pemerintah Kabupaten Garut karena menjadi pelaku diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas," ujar Alissa Wahid dalam keterangan resminya, Jumat (15/8/2025).

Ia mendesak agar pemerintah segera mengambil langkah korektif.

"Pemerintah Kabupaten Garut harus segera mencabut penyegelan rumah doa itu dan menjalankan konstitusi secara amanah dengan memberi dukungan terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan," sebut dia.

Alissa Wahid menekankan bahwa kasus Garut bukanlah insiden tunggal.

Peristiwa serupa, seperti perusakan rumah doa di Padang pada akhir Juli 2025, menunjukkan adanya pola kegagalan negara dalam melindungi warganya.

Lebih lanjut, ia menyerukan adanya evaluasi menyeluruh terhadap regulasi yang ada.

"Kami menyerukan kepada para pemangku kebijakan untuk mengevaluasi berbagai peraturan yang berpotensi mengekang kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, baik di level lokal ataupun nasional, agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi di masa depan," tegasnya.

Jalan Menuju Keadilan dan Kerukunan Sejati

Kasus Garut menjadi pengingat pahit bahwa perjalanan bangsa Indonesia dalam mewujudkan sila pertama Pancasila dan amanat UUD 1945 masih panjang.

Kebebasan beragama bukan sekadar pengakuan atas enam agama resmi, tetapi juga jaminan nyata bagi setiap individu untuk dapat beribadah dengan tenang tanpa rasa takut.

Jaringan GUSDURian mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengambil peran aktif dalam merawat kebinekaan.

"Mengajak masyarakat untuk terlibat aktif dalam menjaga keberagaman dan menempatkan perbedaan sebagai fitrah yang harus dinormalisasikan, bukan justru dihapuskan," seru Alissa Wahid.

Dialog antarumat beragama, pendidikan keberagaman sejak dini, dan ketegasan pemerintah untuk menindak segala bentuk intoleransi adalah kunci untuk mencegah terulangnya insiden serupa.

Negara tidak boleh absen, apalagi menjadi pelaku. Sebaliknya, negara harus hadir sebagai fasilitator dan pelindung bagi semua warganya, tanpa memandang latar belakang suku, ras, maupun agamanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI